Muda Mudi Islami

Kenapa bangunan keilmuan kita bolong-bolong?

Bagaimana proses pembentukan bangunan keilmuan itu?

As far as I’m concerned - Setiap orang, pelajar atau bukan, tingkat pemula atau tingkat menengah ke atas tentu memiliki pengetahuan berupa informasi di otaknya tentang sesuatu. Endapan maklumat yang terkumpul itu berasal dari berbagai sumber, mulai dari membaca buku, mendapatkan informasi dari guru, teman, artikel lepas, berita, note fb, status fb, tweet, ceramah ulama dan cendikiawan baik secara langsung atau rekaman dan sebagainya. Bisa jadi informasi-informasi tersebut berasal dari desas-desus kabar isu valid atau tidak valid. Atau informasi dari menonton berita aktual, tutorial, bahkan film dokumenter atau fiktif. Atau informasi yang tercampur antara fakta dan kebohongan. Atau informasi yang geje gajelas yang terbentuk  antara senyawa keilmuan murni dengan pernyataan sepihak pengaruh politik praktis nan keras, gak terlalu keras, lembut dan sebagainya. Apalagi kita hidup di zaman dimana ilmu pengetahuan sudah sangat maju, dengannya, proses pemindahan informasi melalui media cetak atau online, maka berita apapun bisa sangat mudah dan cepat tersebar. Semua hal tersebut merupakan proses pemindahan informasi secara langsung dan tidak langsung dari luar ke otak. Semua memori yang terserap itu terkumpul dan berjogres satu sama lain menjadi sebuah bangunan keilmuan. Begitulah bangunan keilmuan terbentuk sesuai dengan unsur yang membentuknya dengan berbagai macam model yang mempengaruhi kualitasnya.

Informasi-informasi yang kita dapat sangat berpengaruh pada perkembangan intelektualitas dan pembentukan kualitas diri. Bisa juga dikatakan bahwa bangunan keilmuan yang ada di otak kita adalah hasil serapan dari apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan yang kita dapatkan dan pelihara sejak dini hingga saat ini melalui proses yang tersebut tadi. Dengan kata lain, bangunan keilmuan layaknya seperti hardisk internal yang ada dalam otak kita, tersusun di dalamnya folder-folder yang berisikan file informasi yang kita dapat.

Sama halnya seperti apa yang disampaikan oleh Syeikh Osama el-Sayed Mahmud el-Azhari dalam salah satu seminarnya bahwa ilmu dalam diri kita ibarat folder pada sebuah operating system windows. Singkatnya, jika kita membuka windows explorer, maka kita akan menemukan drive yang berisi folder-folder yang bernamakan sesuai dengan apa yang kita buat. Setiap folder berisi subfolder lainnya yang berisi dokumen-dokumen penting dalam format doc atau pdf atau audio bahkan video. Setiap kali kita diminta untuk menghadirkan muatan dari file-file tersebut, maka kita dituntut untuk mendapatkannya dengan membuka folder demi folder untuk sampai ke file yang kita inginkan. Tingkat kecepatan mendapatkannya tergantung pada rapi dan tidaknya kita menyusun folder-folder ini. Oleh karenanya, menurutku,  perbedaan antara orang pandai dan bodoh adalah dalam metode menyusun folder tersebut. Orang pandai mungkin akan menyusunnya dengan rapi, sistematis dan efektif agar tempat file penting mudah diingat dan ditemukan, sehingga ketika ia menginginkannya, ia akan cepat mendapatkannya. Berbeda dengan orang bodoh. Mungkin ia cenderung akan meletakkan file-file yang ia serap (ibaratnya informasi yang ia dapat sehari-hari) langsung ke drive tanpa folder secara awut dan tidak diberi nama yang jelas untuk membedakan antara file satu dan lainnya, sehingga pasti ia akan kesulitan ketika suatu saat membutuhkannya. Mungkin, seperti itulah ibarat keilmuan yang ada dalam diri kita.

Setelah tau apa itu bangunan keilmuan dan bagaimana proses pembentukannya, bagaimana dengan kualitas bangunan keilmuan yang kita miliki?

Baiknya kita sepakati bahwa bangunan keilmuan terdiri atas memori yang berisi endapan maklumat dan informasi yang bertahan dalam otak. Mari kita lihat kenyataan bahwa proses penyerapan informasi dan penyimpanannya dalam otak sangat bermacam-macam, ada informasi yang mudah didapat tapi cepat terlupakan, dan ada juga informasi yang sulit didapat tapi lebih bertahan. Hal ini memiliki pengaruh besar terhadap kualitas bangunan keilmuan kita.

Kualitas bangunan keilmuan kita sangat bergantung pada kekuatan memori per individu dalam mengingat dan mengikat informasi dan kuantitas pengulangannya. Selain itu, juga bergantung pada tingkat cepat lupanya seseorang karena sebab dan alasan yang bermacam-macam.

Lalu bagaimana cara kita mengetahui kualitasnya? Bagaimana mengukur kualitasnya? 

Cara mengukurnya adalah dengan menggunakan barometer pengukur. Dimulai dari mencari tau seperti apa bangunan keilmuan yang bagus itu. Apa saja ciri-cirinya? Bagaimana prosesnya? Apa standarnya? Tentunya bangunan keilmuan yang bagus dan kokoh adalah hasil jerih payah melewati banyak tahap dan fase menuntut ilmu sesuai dengan metode ulama Robbani. Yaitu metode yang telah kita ketahui tadi, ditambah dengan penghayatan yang penuh dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga ilmu yang didapatkan benar-benar matang dan terpatri dalam sanubari terdalam, mengharapkan Ridho Ilahi semata.

Setelah mengetahui barometer keilmuan yang baik, kita ukur pengetahuan kita dengannya, maka hasilnya akan terlihat. Ada yang ternyata bangunannya kokoh, besar, megah, atau justru bangunannya miring-miring, goyang setiap kali ketiup angin, bolong-bolong, banjir kalau ada ujan dan sebagainya. Itulah bangunan keilmuan kita saat ini. Mungkin sebagian diantara kita ada yang sudah tau seberapa besar, seberapa kokoh, seberapa tinggi, dan seberapa bagus bangunan keilmuan kita sendiri. Atau malah mungkin ada yang tidak tau, atau tidak mau tau, atau malah tidak tau apa-apa soal ini.

Solusi

Lalu, jika kita sudah tau kualitas bangunan keilmuan kita, bagaimana solusi memperbaikinya atau membuatnya lebih baik dari sebelumnya?

Yaitu dengan membangun bangunan keilmuan dengan Manhaj terbaik diikuti dengan istiqomah. Manhaj yang ideal dalam menuntut ilmu adalah manhaj yang dimiliki oleh Al-Azhar. Manhaj Al-Azhar dalam mendidik santrinya sangat efektif, hal itu terlihat dari ketahanannya dan keberhasilannya dalam melahirkan ulama-ulama Robbani yang terkenal seantero jagad seperti Imam Ibrahim al-Bajuri rahimahullah, Muhammad Abduh rahimahullah, dan lainnya yang memiliki kualitas keilmuan yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Bahkan hingga zaman sekarang, ulama-ulama Al-Azhar memiliki peran penting dalam perkembangan keilmuan islam di dunia. Bahkan Madrosah selain Al-Azhar sekelas Madrasah Zaitunah dan lainnya mengakui metode ini. Hal itu terlihat dari banyaknya tolibul ilmi yang datang menimba ilmu ke Al-Azhar dari seluruh penjuru dunia.

Metode Al-Azhar dalam mendidik santrinya untuk menjadi seorang ahlul ilmi bisa dibagi menjadi 4 tingkatan. Setiap tingkatan ini harus dilalui secara berurutan dari awal hingga akhir, sama persis ketika kita ingin menaiki tangga menuju lantai atas. Semua ilmu dalam tingkatan-tingkatan ini dipelajari dengan melalui 3 tahap yang telah kita ketahui, yaitu tahap Mubtadi, Mutawassith, dan Muntahi. Pembelajarannya juga melalui metode yang telah kita jelaskan, dari mulai Talaqqi secara Musyafahah, Mudzakaroh, Mudarosah, Munaqosyah, dan berakhir dengan Mumas’alah. Beginilah seharusnya kita menuntut ilmu. Proses ini tentunya akan memakan waktu yang relatif lama, maka benarlah perkataan Syeikh Osama el-Sayed Mahmud el-Azhari bahwa, untuk menjadi seorang ahlul ilmi sekiranya butuh hingga 10 tahun untuk mendapatkannya.

Pertama, Daairotu al-Fahmi wal Ifham. Fase ini adalah fase dimana seorang murid mempelajari Ilmu alat yang bertugas untuk memahami ilmu. Fase ini ibarat kunci untuk membuka gerbang keilmuan selanjutnya, karena tanpa mempelajari ilmu alat, maka seorang tolibul ilmi takkan mampu menyerap muatan ilmu apapun. Yang dipelajari dalam fase ini adalah seperti Ilmu Shorof, Ilmu Nahwu, Ilmu Balaghah (Bayan, Badi’, Ma’ani), Ilmu Isytiqoq, Ilmu Matan Lughah, Ilmu al-Wadh’i dan sebagainya.

Kedua, Daairotu at-Tautsiq wal Itsbat. Fase ini adalah fase selanjutnya setelah tolibul ilmi menyelesaikan fase sebelumnya yaitu pemahaman ilmu alat sepenuhnya. Fase ini bertugas memfilter informasi keilmuan yang akan ia serap pertama kali, yaitu memastikan bahwa apa yang akan kita dapatkan benar-benar dari rahim yang suci, keilmuan yang matang, berasal dari proses panjang ijtihad ulama sedari dulu. Bukan dari sumber yang tak terpercaya, mungkin akibat racun politik atau lainnya yang mencampuri ranah keilmuan islam. Maka, di fase ini ia mempelajari ilmu seperti Ilmu Hadis dengan segala cabangnya. Antara lain, Ilmu Mustolah, Ilmu Takhrij, Ilmu Ilal, Ilmu Jarh wa Ta’dil dan sebagainya.

Ketiga, Daairotu al-Hujjiyyah wa at-Tahlil. Fase ini adalah fase dimana seorang tolibul ilmi memperkuat apa yang ia dapatkan dari ilmunya dengan hujjah dan dalil secara akal. Maka di fase ini ia mempelajari ilmu akal seperti ilmu Mantiq, Ilmu Tauhid, dan Ilmu Ushul fikih.
Keempat, Daairotu Bina’I al-Insan, yaitu Fase pembentukan jati diri seorang ahlul ilmi. Setelah melewati 3 fase sebelumnya, berbekal ilmu yang telah dipelajari sebelumnya, maka seorang tolibul ilmi akan mempelajari ilmu pembentukan jati diri dalam penerapannya di kehidupan sehari-hari. Baik itu ilmu secara zahir atau secara batin. Maka di fase ini ia akan mempelajari dan mempraktekkan Ilmu Fikih dan Ilmu Tashowwuf. Ilmu Fikih merupakan representasi ilmu Islam secara zahir yang terdiri dari Ibadah, Muamalah dan sebagainya. Di sisi lain, Ilmu Tashowwuf juga merupakan ilmu untuk meningkatkan level kita menuju Ihsan. Keduanya merupakan ilmu Maqasid yang sangat penting untuk dipelajari dan dipraktekkan, sehingga akan melahirkan generasi yang Robbani.

Kesimpulan

Mengetahui kualitas keilmuan kita saat ini sangat penting bagi perkembangan kualitas diri. Kokoh atau tidaknya akan mempengaruhi kemampuan kita dalam menjawab pertanyaan perihal agama atau menyampaikan ilmu yang kita miliki. Bisa dipastikan, kita semua menginginkan bangunan keilmuan kita baik dan terpercaya layaknya ulama Robbani sebagai penerus perjuangan Nabi SAW dalam membawa umat menuju perbaikan. Oleh karena itu, mari kita perbaiki apa yang rusak, dan kita sempurnakan apa yang kurang dengan cara 3 M (Memanfaatkan waktu yang ada, Memanfaatkan kondisi lingkungan, Memanfaatkan teknologi penunjang). Wallahu A’lam Bi Ash-Showab

Oleh; Mohammad Hendri Alfarouq
Learn more »

Kritik Ilmiah Terhadap Ta'liqot Abdullah Ibn Baz Pada Shohih Bukhari



Awalnya buku ini ditulis oleh Sheikh Ahmed el-Nour Mohamed el-Hulwi el-Tshadiy, seorang Imam dan Khatib di Chad, negara di Afrika Tengah pada 7 Jumadil Tsani 1433 H/28 April 2012. Sekarang, buku yang terdiri dari 10 bab ini sudah memasuki cetakan kedua pada tahun 2015, setelah mengalami revisi pada tubuh pembahasan yang penting untuk diperbaiki.

Dalam muqaddimah kitab, penulis berusaha mengajak pembaca untuk melihat beberapa Ta'liqot seorang ulama terhadap salah satu kitab terbaik dalam Hadis, yaitu Fathul Bari karya Imam Ibn Hajar Al-Atsqolani asal Mesir, syarh kitab Shohih Bukhari. Menurutnya, ada beberapa Ta'liqot Syeikh Abdullah Ibn Baz terhadap Fathul Bari yang salah kaprah dan bertentangan dengan keyakinan sebagian ulama Asyairah, khususnya dalam bidang Akidah. Syeikh Abdullah Ibn Baz adalah ketua Jamiah Islamiyyah di Madinah, beliau wafat pada tahun 1421 H.





Contoh pembahasannya adalah: 

1. Pentaklik menemukan kesalahan-kesalahan Muallif (Ibn Hajar) dalam kitabnya yang tidak diislah oleh ulama semasa Ibn Hajar atau setelahnya.

Bantahan penulis: Jika terdapat kesalahan fatal apalagi dalam akidah dalam Fathul Bari, maka ulama sezamannya tidak akan diam. Lagipula, kitab Fathul Bari sudah menjadi salah satu kitab Muktamad sebagai syarh Kitab Sohih Bukhari. Terlebih jarak antara Muallif dengan pentaklik terpaut ratusan tahun.

 2. Pentaklik membantah pernyataan Ibn Hajar yang mentanzih Allah menempati tempat dan ruang.

Bantahan penulis: Penulis memaparkan beberapa bantahan terhadap pernyataan bahwa Allah menempati ruang dan tempat (yaitu di atas/arsy) seperti pendapat pentaklik. Bantahan2 tersebut menurut perkataan ulama-ulama Asyairah, seperti Ibn Hajar, Imam Qurtubi, Imam Subki, Imam Sanusi dan sebagainya.

Kebanyakan pembahasan di buku ini berkaitan dengan akidah yang mengerucut pada Tajsim Allah, yang mana sangat bertentangan dengan akidah Asyairah. Oleh karena itu, penulis memaparkan banyak sekali perkataan ulama-ulama Asyairah (seperti Imam Nawawi, Imam Zahid Al Kautsari, Imam Baihaqi, Ibn Daqiq Ied dan lain-lain) dalam membantah apa yang ditaklik oleh Syeikh Abdullah ibn Baz dalam kita Fathul Bari. Selain 2 masalah di atas, masih banyak permasalahan yang dianggap krusial bagi penulis. Seperti misalnya Pentaklik menafikan Ta'wil ayat mutasyabihat secara mutlak. Baik itu Ta'wil dari Imam Bukhari sendiri, Ta'wil Ibn Abbas, Ta'wil Ja'far Shadiq ataupun ulama-ulama lainnya.

Namun, penulis tidak memaparkan semua Ta'liqot yang ada dalam Fathul Bari. Ia hanya bermaksud membuat kitab ini seperti ringkasan, dan yang ditulis pun hanya pembahasan yang dianggap penting saja. Tentunya kitab ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap semoga kitab ini bermanfaat bagi pembaca dan mengislah jika ada kesalahan di dalamnya.


Learn more »

كتاب صناعة الإفتاء


Saat ini perkembangan zaman dengan segala permasalahan di dalamnya, semakin kesini semakin memojokkan umat Islam hingga ke ujung tanduk perpecahan. Terbukti dengan adanya sekte Islami yang semakin banyak bermunculan dan golongan orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya sebagai panutan. Miris memang, di saat umat Islam saling berdebat dan menuding, disana ada musuh besar yang sedang bertepuk tangan. Di balik itu semua ada sebagian campur tangan strategi barat untuk terus menggerogoti umat Islam hingga jatuh, dengan cara mengubah kemurnian agama dengan akal dan mereka takkan menghentikan usahanya hingga akhir zaman.

Umat Islam saat ini perlu diterangi dengan cahaya Ilahi. Mengembalikannya ke zaman kemurnian Islam seperti pada masa Tabi’in, Sahabat, dan Nabi. Maka, ulama-ulama ternama saat ini pun mencoba menorehkan tinta lewat tulisan dan risalah yang berisikan pembaruan Islam yang murni. Usaha ini dikenal dengan nama “el-Tanwir el-Islami” yaitu kebalikan dari gerakan barat yang dikenal dengan “elTanwir el-Ghorbi”.

Tulisan dan risalah yang berjumlah 87 buku ini digagas oleh Dr. Mohamed Imarah, Dr. Hasan Syafi’I, Prof. Fahmi Huwaidi, Dr. Sayed Dasuki, Dr. Abd el-Wahab el-Musiri, Dr. ‘Adil Husein, el-Mustasyar Toriq el-Basyari, Dr. Mohamed Salim el-‘Awa, Dr. Yusuf Qaradhawi, Prof. Dr. Ali Gomaa, Dr. Syarif Abd el-Adzim, Dr. Solah el-Din Sultan.

Salah satunya adalah buku no 86 karya Prof. Dr. Ali Gomaa, mantan Mufti Mesir yang berjudul “Shina’atu-l-Ifta”. Buku yang ditulis dengan tujuan memberikan pemahaman kepada pembaca agar memahami hakekat fatwa dengan benar.



Buku ini berisikan tentang;

Bab pertama Pendahuluan terdiri dari pengertian dan hakekat berfatwa, hukum berfatwa, hukum meminta fatwa, peran/kedudukan berfatwa, perkembangan fatwa.

Bab kedua Rukun-rukun Berfatwa yang terdiri dari pembahasan rinci tentang;
-Mufti (Pengertian seorang Mufti, syarat Mufti, Adab Mufti, Kesalahan Mufti, Ruju’ Mufti terhadap fatwanya atau berubahnya Ijtihad)-Fatwa (Pengertian fatwa, Metode fatwa, Adab fatwa, Tahap-tahap pembuatan fatwa, Faktor penyebab berubahnya fatwa, Manhaj fatwa Dar el-Ifta Mesir dalam mengeluarkan fatwa sebagai contoh Metode fatwa yang muktamad)
-Mustafti (Pengertian Mustafti, Adab Mustafti, Masalah tentang jumlah Mufti yang dimintai fatwa oleh Mustafti, Batas-batas pengamalan fatwa bagi Mustafti)


Tentang buku;

Penulis; Prof. Dr. Ali Gomaa (Mantan Mufti Mesir 2003-2013)
Penerbit; Dar Nadhoh Misr
Cetakan; Ke 2 tahun 2014
Learn more »

Hukum Inseminasi Buatan



Poin-poin penting tentang batasan syariah tentang proses pembuahan di luar rahim;

1. Proses pembuahan sperma dan sel telur di luar rahim dengan mengikuti kriteria sesuai syariat dibolehkan pada saat genting.
2. Jika tidak ada dokter ahli wanita muslimah, maka dibolehkan bagi dokter muslim melihat bagian wanita sebatas yang dibutuhkan selama proses saja


-Disebutkan dalam fatwa Darul Ifta tahun 1998, tentang suami istri yang telah menikah selama 3 tahun namun belum diberi keturunan. Setelah mencoba beberapa usaha untuk menghasilkan keturunan namun tidak berhasil, suatu saat diminta untuk mencoba inseminasi buatan atau pembuahan sperma dan sel telur di luar rahim istrinya, lalu ditanam kembali dalam rahim istri.

Pertanyaan;

Apakah proses tersebut halal hukumnya?
Jika tidak ada dokter ahli dari wanita muslimah, apakah boleh bagi dokter lelaki muslim menggantikannya?


Jawaban;
Syariat membolehkan usaha mendapatkan keturuan dengan cara pembuahan di luar rahim kemudian penanaman kembali ke dalam rahim, dengan syarat sperma dan sel telur berasal dari suami istri yang sah tanpa tercampur dengan sperma lelaki lain. Dikerjakan oleh para ahli muslimah yang terpercaya, dan proses ini dilakukan atas dasar ketidakmampuan istri dalam mengandung secara alami.
Tentang boleh tidaknya dokter lelaki melihat bagian wanita selama proses, selama yang dilihat hanya bagian yang diperlukan saja, boleh hukumnya. Selama tidak ada satupun dokter wanita yang ahli dalam hal ini. Hal ini bersandarkan pada surat Al-Baqarah;173 "Famanidhturro ghoiro baaghin wa laa aadin falaa itsma alaihi". Selain itu, juga bersandar pada kaidah ushul fikih "Addhorurotu tubihul mahdzuuroot", Kepentingan mendesak membolehkan melakukan apa yang dilarang.

Kriteria praktek inseminasi buatan;

1. Sperma dan sel telur harus berasal dari suami dan istri, tanpa campur tangan pihak ketiga.
2. Tidak ada kemungkinan melahirkan secara normal bagi istri.
3. Proses pelaksanaannya harus dilakukan pada saat suami masih hidup, bukan setelah mati. Dan harus berada dalam status sebagai suami istri, tidak dipisahkan dengan perceraian.
4. Jika dokter ahli yang melakukan praktek tersebut laki-laki, tidak boleh baginya melihat bagian wanita kecuali bagian yang diperlukan saja.
5. Sebaiknya para ahli yang melakukan proses ini dipilih dari komite dokter wanita muslimah. Tapi jika itu tidak memungkinkan, maka boleh meminta kepada dokter non muslimah yang terpercaya dan berakhlak baik. Jika tidak memungkinkan juga, maka dibolehkan bagi 2 dokter laki-laki muslim yang baik.
6. Proses pelaksanaannya harus dihadiri oleh suami atau wanita lain yang bersangkutan
7. Harus benar-benar berhati-hati dalam pengambilan sperma dan sel telur yang akan diproses. Sperma dan sel telur harus berasal dari suami istri yang sah, sehingga tidak ada kesempatan kecilpun yang memungkinkan tercampurnya dengan sperma atau sel telur lain.

Learn more »

Kriteria Pemimpin Ideal




"Al-Tibr Al-Masbuk Fi Nashihati Al-Muluk"
(Untaian Nasehat Untuk Para Pemimpin)

Imam Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad Al-Ghazali (505 H)

Alasan penulisan buku ini;


Buku karya Hujjatul Islam  yang menjelaskan tentang Politik Islam, berisi nasehat-nasehat Imam Ghazali kepada para pemimpin negara. Awalnya buku ini ditulis untuk ditujukan seorang pemimpin yang bernama Muhammad Ibn Malik raja Saljuki.

Nasehat untuk para pemimpin;


Mula-mula, Imam Ghazali menganjurkan para pemimpin agar menyisakan waktu sehari dalam seminggu untuk mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan ukhrowi/akhiratnya. Tidak membiarkan waktu seminggu habis tanpa menghadap Sang Pencipta. Hendaknya ia mengambil waktu hari Jum'at untuk mendekatkan diri kepada Allah yang telah memberikan nikmat kepadanya. Pada waktu pagi di hari Jum'at, hendaknya ia memakai pakaian bersih, melaksanakan Salat Shubuh berjamaah, tidak beranjak sebelum menyelesaikan zikir, dan membaca sholawat serta melaksanakan Salat Dhuha. Selain itu, hendaknya ia menjadikan hari Jum'at setiap minggunya sebagai hari penebusan dosa yang kemungkinan ia lakukan pada enam hari sebelumnya.
Setiap pemimpin wajib mengetahui 10 akidah dasar keimanan sebagai muslim yang baik. 10 akidah dasar itu antara lain;


    1. Percaya bahwa Allah SWT adalah Tuhan Pencipta alam dan seluruh makhluk di bumi adalah makhluk ciptaanNya
    2. Percaya bahwa tiada sesuatu pun di dunia yang menyamai sifat Allah SWT
    3. Percaya bahwa Allah SWT Maha Kuasa atas segala sesuatu
    4. Percaya bahwa Allah SWT Maha Mengetahui atas segala sesuatu
    5. Percaya bahwa Allah SWT Maha Mendengar
    6. Percaya bahwa Allah SWT Maha Melihat
    7. Percaya bahwa Allah SWT Maha Berbicara, bahwa semua yang tertulis pada kitab samawi yang turun pada Rasul-rasulnya adalah kalam Allah yang Qadim.
    8. Percaya bahwa Allah SWT Pemilik segala dunia dan isinya, bagiNya segala kehendak untuk mengatur apa yang ada di dalamnya.
    9. Percaya akan adanya akhirat, alam kubur, hari kebangkitan, hari pertimbangan amal, hari pembalasan dan adanya surga neraka.
    10. Percaya bahwa Allah SWT mengutus Rasulnya untuk membimbing manusia agar dapat menjalani hidup dengan baik sesuai kehendak Allah

Setelah memiliki iman yang kuat dalam hati sebagai landasan akidah, setiap pemimpin wajib mengetahui cabang iman yang teraplikasi pada ketaatan dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT. Ketaatan tersebut terbagi menjadi dua bagian;

    1. Melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah dalam lingkup antara hamba dengan Allah. Seperti mendirikan Salat, membayar Zakat, berpuasa, atau menjauhi zina dan sebagainya.
    2. Melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah dalam lingkup antara sesama manusia. Dalam hal ini antara pemimpin dengan warga negaranya. Seperti memimpin dengan adil, dan tidak melakukan kezaliman.

Sesungguhnya, dosa yang diperbuat pemimpin dalam hal muamalah dengan Allah SWT bisa diampuni dengan rahmat Allah atas izinNya. Akan tetapi, dosa antara sesama manusia tidak akan terhapus hingga tiba waktu pembalasan pada hari akhir nanti. Seorang yang dizolimi akan menuntut balas kepada siapa yang menzoliminya, baginya imbalan yang adil dan setimpal.

Landasan pokok yang harus dikuasai pemimpin agar bisa memimpin dengan adil terdiri dari 10 hal, antara lain;

    1. Memahami dan menguasai kadar kedudukan sebagai pemimpin dan resikonya. Tersebut dalam hadis, kedudukan pemimpin memiliki keistimewaan yang diberikan Allah, salah satunya adalah memimpin negara dengan adil selama satu hari lebih baik ketimbang beribadah selama 70 tahun. Selain itu, pada hari kiamat nanti, disaat manusia merasakan teriknya matahari yang menyengat, terdapat 7 golongan manusia yang dinaungi Allah, salah satunya adalah pemimpin yang adil. Sebaliknya, resiko menjadi pemimpin yang zolim adalah ia akan dilaknat Allah beserta malaikat-malaikatnya. Bahkan Allah tidak akan melihat kepadanya dan haram baginya syafaat Rasulullah SAW pada hari kiamat nanti.
    2. Mendengarkan nasehat dari para ulama untuk kemaslahatan umat. Bukan ulama yang memiliki tujuan tersendiri untuk kepentingan dunia mereka.
    3. Tidak cukup hanya dengan tidak melakukan perbuatan zolim saja. Tapi setiap pemimpin harus mendidik anak-anaknya, pegawainya, bahkan pejabat-pejabat yang menjadi wakilnya. Membetulkan yang salah pada mereka dan mengarahkan dengan baik. Semua itu ia lakukan setelah ia membenarkan apa yang ada di dirinya terlebih dahulu.
    4. Tidak sombong menjadi pemimpin lantaran ia memiliki kekuasaan penuh. Tidak mudah marah dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan negara.
    5. Menganggap bahwa pemimpin juga seperti manusia lainnya. Hendaknya ia menempatkan dirinya sebagai penduduk sipil sebelum menitahkan perintah, agar ia bisa merasakan apa yang dirasakan umatnya.
    6. Jangan menghardik atau menolak orang yang membutuhkan bantuan, lalu lebih mementingkan urusan pribadi meskipun hanya salat sunnah. Karena menyelesaikan urusan umat bagi pemimpin lebih mulia daripada mengerjakan salat sunnah.
    7. Tidak berlebih-lebihan dalam mengenakan pakaian atau menggunakan kekayaan lainnya hanya untuk memenuhi hawa nafsu. Biasakan qona'ah/merasa cukup dengan apa yang ada.
    8. Sebisa mungkin melayani urusan umat dengan halus dan lembut, tidak dengan perlakuan kasar.
    9. Berusaha membuat umat ridho dengan posisinya sebagai pemimpin, bukan karena takut.
    10. Tidak memaksa umat ridho kepadanya dengan jalan yang tidak sesuai syariat.


Pemimpin harus memahami bahwa dunia dan segala isinya termasuk kekuasaan hanyalah sementara. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Dunia hanya jembatan yang akan berakhir menuju ke akhirat yang kekal. Pemimpin yang adil adalah yang bersikap adil terhadap umatnya, bukan yang zolim. Meskipun pemimpin itu bukan muslim, Allah akan tetap memberinya kemudahan dalam memimpin. Tersebut dalam sebuah hadis Rasulullah "Kursi kepemimpinan akan terus bersama pemimpin yang adil meskipun ia kafir, tetapi tidak pada yang zolim". Tersebut pula dalam sejarah bahwa pernah ada seorang pemimpin Majusi (penyembah api) dapat memimpin umatnya dengan adil selama 4000 tahun lamanya.

Zolim terbagi menjadi 2, yaitu zolimnya penguasa terhadap umatnya, atau si kaya terhadap si miskin, dan zolimnya seseorang terhadap diri sendiri, yaitu dengan mengerjakan maksiat yang akan merugikan diri sendiri. Sejatinya, agama ini berdiri dengan kekuatan negara, Negara berdiri karena kekuatan prajuritnya, Prajurit bertahan dengan harta yang mencukupinya, Harta ada karena makmurnya negara, dan kemakmuran negara bergantung pada penguasanya. Orang bijak berkata, sifat dan kebiasaan umat biasanya mengacu pada pemimpinnya.

Salah satu tokoh yang patut dicontoh dalam kepemimpinan adalah khalifah Umar ibn Khattab sahabat Rasulullah SAW dan Umar ibn Abdul Aziz, keturunan khalifah Umar ibn Khattab dan salah satu khalifah pada zaman bani Umayyah. Umar ibn Abdul Aziz membagikan kekayaannya untuk umatnya demi kemakmuran rakyat.

I. Bagaimana seorang pemimpin bersikap?


Seorang pemimpin tidak layak membuang waktunya untuk hal-hal yang sia-sia seperti bermain catur, memancing, dan lain sebagainya. Karna hal itu hanya akan membuang waktu yang seharusnya ia gunakan untuk mengurusi perihal umat. Raja-raja zaman dulu membagi waktu siangnya menjadi 4 bagian. Pertama, waktu ibadah dan menghadap Tuhan. Kedua, mengurusi urusan umat, menolong orang yang terzolimi, duduk bersama ulama dan pemikir untuk memperbaiki permasalahan umat, politik, mengutus utusan dan sebagainya. Ketiga, waktu untuk makan, minum, dan kebutuhan biologis. Dan keempat, waktu khusus untuk hiburan.

(Imam Al-Ghazali banyak menceritakan kisah raja-raja dahulu, baik raja yang adil atau lalim dan zolim. Ia juga sering menukil kata-kata hikmah dari filosof-filosof yunani seperti Plato, Aristoteles dan lainnya dalam menyampaikan sifat pemimpin yang baik)

Seorang pemimpin wajib membantu umatnya dalam menghadapi permasalahan hidup, terlebih jika umat dalam keadaan yang memprihatinkan. Seperti misalnya, umat mengalami kelaparan karena paceklik yang berkepanjangan. Bantuan tersebut bisa berupa bantuan makanan, uang atau apa yang bisa memperbaiki ekonomi umat.


II. Bagaimana pejabat negara bersikap?


Pemimpin membutuhkan seorang yang bisa diajak bermusyawarah dalam mengurusi urusan umat. Disinilah peran pejabat atau orang yang duduk di barisan kabinet pemerintahan. Karena, Rasulullah SAW sendiri pun sering melakukan musyawarah dengan para sahabat dalam beberapa hal.
Pejabat yang baik adalah yang soleh, terpercaya, cerdas. Ada 3 hal yang harus dilakukan pemimpin terhadap pejabatnya;

    1. Tidak terburu-buru menghukum pejabat jika melakukan kesalahan atau kekeliruan
    2. Tidak berlebihan dalam memberi upah
    3. Jika membutuhkan bantuan, tidak terbatas pada apa yang dibutuhkan

Pemimpin juga agar tidak melarang pejabat ketika ia ingin melihat atau menjenguknya. Agar tidak menyembunyikan rahasianya karena pejabat yang baik adalah yang terpercaya dan pandai menjaga rahasia.
Peran pejabat di sisi pemimpin seperti penasehat. Ia harus selalu menunjukkan pemimpin dan menuntunnya jika salah. Dan mendukungnya jika benar dalam bertindak atau memutuskan sesuatu.







Learn more »

Mengulang Hafalan Quran Dalam Salat



Bagi sebagian orang, menjaga hafalan lebih berat ketimbang menghafal. Salah satunya adalah menjaga hafalan Quran. Tidak sedikit dari kita merasa lebih mudah ketika menghafal ayat-ayat Quran, tapi sukar ketika mengulang hafalan itu pada hari lain jika tidak dibiasakan untuk mengulang. Pada dasarnya, cara pengulangan hafalan atau murajaah tiap orang berbeda. Ada yang melakukan murajaah pada pagi hari, karena saat pagi sangat efektif untuk menghafal dan mengulang hafalan. Ada juga yang melakukan murajaah saat sore hari, dan sebagainya.

Akan tetapi, apa salahnya jika kita membuat program murajaah atau mengulang hafalan Quran sebanyak 30 juz dalam 30 hari tiap bulannya. Tidak mustahil jika kita berazam untuk mencobanya. Yaitu dengan mentargetkan setiap harinya dengan membaca atau mengulang hafalan satu juz. Dimulai dari tanggal 1 mengulang juz 1, tanggal 2 mengulang juz 2 dan seterusnya hingga lengkap satu bulan.

Waktu mengulangnya pun bisa kita variasikan. Salah satunya adalah mengulang hafalan di dalam salat fardhu atau rowatib. Mengapa kita pilih mengulang saat salat fardhu atau rowatib? Karena untuk efektivitas waktu agar lebih produktif dan menjadikan salat kita diisi dengan seluruh ayat yang ada di dalam Quran selama sebulan penuh.

Teknisnya adalah dengan membagi bacaan satu juz untuk dibaca selama salat rawatib atau sunnah lainnya dalam sehari. Salat rawatib yang bisa dikerjakan antara lain seperti 2 rakaat sebelum Subuh, 2 rakaat sebelum dan sesudah Dhuhur, 2 rakaat sebelum Ashar, 2 rakaat sebelum dan sesudah Maghrib, 2 rakaat sebelum dan sesudah Isya, ditambah dengan Salat Tahajjud, Witir dan Fajr. Jika dijumlahkan keseluruhan adalah 7 salat rowatib beserta 3 sunnah lainnya. Rata-rata jumlah lembaran dalam satu juz adalah 10 lembar atau 20 halaman. Kita bisa membaginya dengan membaca ayat Quran sebanyak satu lembar untuk setiap satu salat sunnah. Dengan seperti ini, maka selama satu hari penuh kita akan menyelesaikan satu juz Quran dalam sehari selama melaksanakan 10 salat sunnah tersebut.

Adapun bagi orang yang belum hafal Quran sepenuhnya, atau masih menjalani proses menghafal dan hanya memiliki hafalan 5 atau 6 juz, bisa disiasati dengan cara lain. Yaitu dengan membagi 30 hari dengan jumlah hafalan sekarang. Seperti misalnya kita hanya memiliki 5 juz hafalan Quran, maka 30 dibagi 5 hasilnya 6. Dengan kata lain, kita harus menghabiskan murajaah Quran dalam salat sunnah perjuz yang kita hafal selama 6 hari. Selama 6 hari pertama pada awal bulan targetnya adalah mengulang hafalan dalam salat untuk juz 1. Selanjutnya, pada 6 hari kedua targetnya adalah juz 2 dan seterusnya hingga selesai 5 juz pada akhir bulan. Sedangkan juz 6 yang tengah dihafalkan, bisa dipraktekkan secara langsung pada rakaat-rakaat Salat Fardhu setiap harinya. Begitu seterusnya hingga kita menyelesaikan hafalan sebanyak 30 juz. Semoga dengan cara ini akan lebih efektif dan dapat menghidupkan salat kita dengan ayat Quran keseluruhan.
Learn more »

Apakah mendamba itu zinanya hati?


Apakah mendamba itu zinanya hati?

Tersebut di dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim di Shohih Muslim, Kitab Qadr, Bab "Qadr 'ala Ibn Adam, Hadzuhu min Az-Zina wa Ghoiruhu", hadits nomor 6925, Cetakan Makniz Islami

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ أَخْبَرَنَا أَبُو هِشَامٍ الْمَخْزُومِىُّ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

Artinya, Ishak Ibn Manshur telah mengabarkan kepada kami dan ia berkata, Abu Hisyam Al-Makhzhumi telah mengabarkan kepada kami dan ia berkata, Suhail ibn Abi Sholih telah mengabarkan kepada kami dan ia meriwayatkan dari Ayahnya (Abi Sholih), bahwa Abu Hurairah R.A. meriwayatkan dari Rasulullah SAW berkata :

"Telah ditentukan untuk keturunan Adam, nasibnya dari perbuatan zina dan ia mengetahuinya tanpa terkecuali satu pun, Zinanya mata adalah melihat, zinanya telinga adalah mendengar, zinanya mulut adalah berbicara, zinanya tangan adalah bertindak kekerasan/memaksa, zinanya kaki adalah melangkah, zinanya hati adalah berharap, berhasrat, semua itu dibenarkan (direalisasi) oleh kelamin atau digagalkannya."

Artinya, dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa  manusia sudah memiliki peluang untuk zina, yang terbagi menjadi 2 yaitu Zina Hakiki (memasukkan alat kelamin ke kelamin yang tidak halal/bersetubuh dengan bukan istri atau suami) atau Zina Majazi.

Zina Majazi/Kiasan berarti:

-Zina mata, dengan melihat sesuatu yang diharamkan. Misalnya melihat hal-hal yang berbau pornografi, mengintip cewek/cowok mandi
-Zina telinga, dengan mendengarkan sesuatu yang bisa menimbulkan gairah, seperti mendengarkan lagu berbau porno
-Zina tangan, dengan menyentuh wanita/pria yang bukan mahrom dengan tangan atau menciumnya
-Zina kaki, dengan melangkah atau berjalan menuju tempat-tempat maksiat yang bisa membawa ke perbuatan zina
-Zina mulut, dengan berbicara dengan sesorang yang bukan mahrom yang membawa kepada hasrat dan birahi, melalui telfon atau media lainnya
-Zina Hati, dengan memikirkan dan membayangkan hal-hal yang menyebabkan terjerumus kepada perzinaan. Seperti memikirkan dan mengharap menginginkan pemenuhan nafsu birahi. Contohnya: berpikiran mesum, "Kapan-kapan aku akan ke kostnya saat sepi dan ga ada orang lain. Siapa tahu dia mau kuajak 'begituan'."

Tapi, semua Zina Kiasan itu termasuk dalam kategori hal-hal yang membawa ke jalan perzinaan. Bisa jadi membawa ke perbuatan zina sungguhan, dengan mempraktekkannya secara bersetubuh, atau tidak. Dan hal tersebut termasuk dosa-dosa kecil yang mungkin bisa diampuni oleh Allah jika kita meminta untuk diampunkan, selagi belum terjerumus kepada Zina Hakiki yang sesungguhnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun segala dosa, kecuali syirik dan menyekutukan Allah.

Sedangkan "Mendamba" apakah termasuk zina hati?

Jika mendamba seseorang untuk menjadi pasangannya, dengan berfikiran positif, memperbaiki diri, memantaskan diri untuk menjadi pribadi lebih baik, in sha Allah tidak termasuk dalam Zina Hati.
Sedangkan yang dimaksud mendamba yang tidak boleh adalah, mendamba dengan berhasrat, mengikuti hawa nafsu agar bisa melampiaskan keinginan birahinya, maka hal tersebutlah yang bisa membawa ke perbuatan zina. WAllahu wa Rasuuluhu A'lam bi Ash-Showab

CMIIW
Learn more »

Mensikapi Perbedaan Hukum Menghidupkan Malam Nisfu Sya'ban


Kesehatan merupakan nikmat Allah yang takkan bisa dibayar dengan apapun. Sampainya usia yang kita punya hingga saat ini juga patut kita syukuri. Dengan apa mensyukurinya? Yaitu dengan beribadah sebanyak-banyaknya, karena Allah telah melapangkan waktu hingga sekarang untuk terus beribadah kepadaNya. Hingga sebentar lagi kita akan menyambut bulan suci Ramadhan yang kesekian dari umur kita.

Selama kita diberi umur sampai saat ini, jika ada kesempatan untuk beribadah kepada Allah lebih dari biasanya, seyogyanya kita manfaatkan waktu untuk itu. Seperti momen-momen penting yang dispesialkan oleh Allah dimana momen itu bisa dijadikan sebagai ladang pahala, salah satunya adalah Malam Nisfu Sya’ban. Terlepas dari anggapan apakah merayakannya adalah bidah atau bukan.

Ikhtilaf atau perbedaan pendapat memang sudah menjadi sunnatullah yang akan hadir di setiap zaman. Pun dengan masalah peringatan Malam Nisfu Sya’ban ini, ada perbedaan pendapat antara yang membolehkan dan mengharamkan, bahkan menganggap hal itu bid’ah.

Lantas bagaimana kita mensikapinya? Bagaimana hendaknya menilai perbedaan ini? Tentunya kita harus tetap memperhatikan akhlak dalam perbedaan pendapat, toh hal ini pun bukan termasuk hal-hal pokok yang mendasar dalam islam, tak perlu memfasikkan bahkan mengkafirkan pandangan orang yang berbeda pendapat dengan kita.

A. Pendapat yang melarang meramaikan Malam Nisfu Sya’ban:

Kenapa mereka melarang perayaan Malam Nisfu Syakban? 

Karena itu bid’ah

Sebagian ulama melarang merayakan peringatan Malam Nisfu Sya’ban  dan menganggapnya bid’ah yang tak pernah dilakukan oleh Rasululllah SAW. Sehingga perayaan tersebut termasuk amalan yang tidak ada landasannya dalam islam dan setiap hal yang demikian , amalannya akan tertolak.

Hal itu berlandaskan pada hadits Imam Muslim yang berbunyi:

...من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو ردّ
yang artinya barang siapa yang melakukan amalan yang tidak termasuk dari ajaran kami (islam) maka amalan itu akan tertolak.  (Shohih Muslim, Kitab Al Aqdhiyyah, Bab Naqdhu-l-ahkaam al baathilah wa roddu muhdatsaati-l-umuur)

Karena Hadits yang menerangkan menghidupkan Malam Nisfu Sya’ban lemah

Dan juga karena terdapat hadits-hadits yang menerangkan tentang perayaan itu, hukum haditsnya Dhoif atau lemah. Terdapat beberapa kecacatan dalam sanad/silsilah perawinya, sehingga membuat hadits itu tidak sempurna.

Seperti pada hadits Muadz ibn Jabal yang berbunyi:

عن سويد بن سعيد، ثنا عبد الرحمن بن زيد، عن أبيه، عن وهب بن منبه، عن معاذ بن جبل -رضي الله عنه- قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " من أحيا الليالي الخمس وجبت له الجنة: ليلة التروية، وليلة عرفة، وليلة النحر، وليلة النصف من شعبان " .

Dari Suwaid ibn Sa'id; Telah menceritakan kepada kami, Abdurrahman ibn Zayd, dari bapaknya, dari Wahb ibn Munabbih, dari Mu’adz ibn Jabal radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menghidupkan malam yang lima maka ia wajib masuk surga: Malam tarwiyah, malam ‘Arafah, malam Idul Adha, dan malam pertengahan bulan Sya’ban”.

Bukti kelemahan haditsnya mana? 

Adalah salah satu perawi yang bernama Suwaid ibn Sa’id Al Hadatsaani Al Anbaari diatas dihukumi seorang perawi yang lemah dalam meriwayatkan hadits. Hal itu diungkapkan oleh:

-Imam Nasa’I dalam “AlKaasyif” milik Imam Dzahabi, bahwa Suwaid “Laisa Bi tsiqoh”/tidak terpercaya, hal demikian juga ada di “Tahdzib Tahdzib” milik Ibnu Hajar.

-Ibnu Hajar di “Taqrib Tahdzib”, bahwa Suwaid “Umiya fa shooro yatalaqqon maa laisa min hadiitsihi”/ Buta, kemudian berkata apa yang bukan hadits yang ia tau.

Cacat atau kelemahan Suwaid tersebutlah yang membuat hadits tersebut dhoif/lemah. Dan kemungkinan, pendapat yang melarang ini tidak membolehkan perayaan Malam Nisfu Sya’ban berdasarkan kelemahan ini.

Juga hadits yang berbunyi

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا يَوْمَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلاَ مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ.

 Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Hadits ini dianggap dhoif/lemah oleh Syekh Albani.


B. Pendapat yang membolehkan perayaan Malam Nisfu Sya’ban

Pendapat yang membolehkan merayakan Malam Nisfu Sya’ban ini, menganggap bahwa pada malam tersebut terdapat banyak keutamaan yang bisa kita manfaatkan. Antara lain adalah,

-Allah mengampuni setiap hambaNya yang meminta ampun, kecuali orang musyrik dan yang meninggalkan golongan. Dan Allah pada malam hari itu turun ke langit dunia, dan mengampuni setiap hamba yang memohon dosanya untuk diampuni, memberi rezki kepada hamba yang meminta rezki, dan lain sebagainya hingga terbitnya matahari.

Adapun hadits yang menerangkan keutamaan/fadhoil malam Nisfu Sya’ban itu banyak, dan hadits-hadits yang ada itu saling menguatkan. Sehingga jika ada hadits yang dianggap dhoif/lemah, maka hadits yang lain akan menguatkan dan mengangkat derajat hadits satu sama lain dari yang tadinya dhoif/lemah menjadi Hasan lighoirihi. Dari sini, dapat diambil kesimpulan bahwa hadits tentang fadhoil Malam Nisfu Sya’ban adalah hasan, dan dapat diamalkan.

Diantaranya adalah:

-Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di Musnadnya, hadits nomor 26658

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ قَالَ أَخْبَرَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ أَرْطَاةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِى كَثِيرٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ لَيْلَةٍ فَخَرَجْتُ فَإِذَا هُوَ بِالْبَقِيعِ رَافِعٌ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ لِى أَكُنْتِ تَخَافِينَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْكِ وَرَسُولُهُ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ظَنَنْتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَائِكَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعَرِ غَنَمِ كَلْبٍ

Hadits diatas juga bisa ditemukan di Sunan Tirmidzi, Bab “Maa jaa’a fi lailati nisfh min sya’ban”, juga di Sunan Ibn Majah di Kitab “Iqoomatussholah wa sunnah fiihaa” Bab “Maa jaa’a fi lailati nisfh min sya’ban”,

-Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di Musnadnya, hadits nomor 6752

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا حَسَنٌ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ حَدَّثَنَا حُيَىُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِى عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِىِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلاَّ لاِثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلِ نَفْسٍ


Problem Solving:

Tersebut diatas dua pendapat yang berbeda, yang satu membolehkan peringatan Malam Nisfu Sya’ban, dengan menghidupkan malamnya dengan amalan ibadah, dan yang satunya lagi melarangnya karna hadits yang menerangkan tersebut lemah.

Jika kita ingin menentukan hukum sebuah ibadah, lebih bijaknya kita taqlid kepada ahlul ilmi atau ulama yang kompeten di bidangnya, bagi kita yang masih berstatus muqollid. Tapi tidak ada salahnya jika kita berusaha untuk tau, apa dan kenapa sebab mereka membolehkan dan melarang suatu amalan ibadah.

Seperti menghidupkan Malam Nisfu Sya’ban ini, mari kita lihat dari kaidah ilmiahnya. Tidak layak bagi seorang penuntut ilmu, jika melulu menganggap apa yang gurunya katakan, kemudian langsung ditelan mentah-mentah. Hendaknya ia mencari dan mengoreksi  jika ada yang salah menurutnya.

Pendapat pertama yang melarang menghidupkan Malam Nisfu Sya’ban, melihat karna hal itu adalah termasuk bid’ah. Atau sesuatu yang belum pernah dikerjakan Rasulullah SAW di zamannya.  Tapi kita juga harus ingat, tidak semua bid’ah yang ada, haram hukumnya. Karna bid’ah terbagi menjadi 5 macam, yaitu bid’ah muujabah (yang wajib dilakukan, sperti halnya pengumpulan dan penulisan alquran karna takut akan hilang jika tak dilakukan), bid’ah muharromah (yang haram dilakukan, sperti halnya memilih orang bodoh dalam agama disbanding ulama dalam urusan agama), bid’ah mandubah (yaitu yang sunnah dilakukan, sperti sholat tarawih dll), bid’ah makruhah (yang tidak disukai, sperti mengkhususkan hari jumat untuk puasa), dan bid’ah mubahah (yang boleh dilakukan, bersepeda motor untuk sekolah dll). Tidak semua bid’ah adalah sesat.

Di samping itu yang perlu juga diperhatikan adalah para Tabiin pun ikut menghidupkan Malam Nisfu Sya’ban, meskipun ada ikhtilaf dalam hal itu. Dan ikhtilaf/perbedaaan pendapat akan terus ada hingga akhir zaman nanti.

Imam Al Hafidz Ibn Rajab Al-Hanbali Rahimahullah berkata di kitabnya "Lathoif Al Maarif:

"Dan pada malam Nisfu Sya'ban, para Tabiin dari ahli Syam sperti Kholid ibn Ma'dan, dan Makhul, dan Luqman ibn Amir dan lainnya memuliakan dan menghidupkan malam itu dengan ibadah. Dan orang lain pun ikut memuliakannya karena keutamaannya. Di sisi lain, Ulama Syam berpeda pendapat dalam sifat menghidupkannya antara 2 hal:

1. Mustahab hukumnya, jika menghidupkannya secara berjamaah di masjid. Seperti yang pernah dilakukan oleh Khalid ibn Ma'dan dan Luqman ibn Amir dan lainnya dari para Tabiin, mereka mengenakan pakaian terbaiknya, memakai wewangian dan mendirikan sholat malam itu dalam masjid. Hal ini disepakati oleh Ishak ibn Rowahiyah (Salah satu imam ulama Salaf) dan mengatakan bahwa menghidupkan malam itu dalam masjid secara berjama'ah bukanlah perkara bid'ah."

2. Makruh hukumnya berkumpul dalam masjid malam itu untuk sholat, dan bercerita, atau berdoa berjamaah, akan tetapi tidak makruh jika dikerjakan secara sendirian. Demikian pendapat Imam Auza'i (Salah satu imam Ulama Salaf) dan imam Ahlu Syam seorang yang alim dan faqih.
Imam Syafi'i berkata: "Telah sampai kabar kepada kami bahwa Doa akan diterima di 5 malam ini: Malam jumat dan Ied yang 2, Malam pertama bulan Rajab, dan malam Nisfu Sya'ban. Lalu berkata: "Wa ana astahibbu kulla maa hakaitu fii hadzihi al layaalii"

Hadits Muadz ibn Jabal lemah karena perawinya lemah, sehingga tidak bisa diamalkan?

Tersebut Suwaid ibn Sa’id Al Hadatsaani Al Anbaari lemah dalam riwayatnya tentang hadits diatas, dinaqd oleh Imam Nasa’I bahwa dia laisa tsiqoh. Dan dia kemudian buta, sehingga menyampaikan apa yang tidak ia tau kebenarannya. Hal ini terdapat di beberapa kitab tarjamah perawi yang tersebut diatas. Akan tetapi jika kita lihat lebih jauh lagi, masih banyak ulama yang menilai kelemahan Suwaid ibn Sa’id tersebut kemungkinan terjadi setelah ia mengalami kebutaan.

Diantaranya yang disebutkan di Tahdzibuttahdzib milik Ibnu Hajar :

Abu Hatim berkata “Kaana shoduuqon wa kaana yudallisu wa yuktsir”, Bukhari berkata “Ia buta, kemudian menyampaikan apa yang bukan haditsnya”, Ya’qub ibn Syaibah berkata “Shoduq, mudhtoribul hifdzi, laa siyyama ba’da maa ‘amiya”, Abu Zar’ah berkata “Jika ia menyampaikannya dari kitabnya, maka haditsnya selamat, dan aku mengikutinya. Tapi jika dari hafalannya, maka tidak kuikuti.” Hakim berkata “ Dia buta di akhir hayatnya, jika kau mengambil hadits darinya sebelum ia buta/ketika ia melihat, maka haditsnya hasan”.
Lalu Imam Nasa’i yang juga mengatakan “Dia bukan tsiqoh/tak terpercaya”. Kemudian Imam Nasa’I juga berkata dia tidak dipercaya. Sulaiman ibn Al Asyats mengabarkan padaku dan dia mendengar dari Yahya ibn Muayyan berkata "Suwain ibn Said" halal darahnya. Juga Muhammad ibn Yahya Al Haraz bertanya kepada Yahya ibn Muayyan tentang Suwaid dan dijawab "Apa yang dia sampaikan padamu maka tulislah, tapi apa yang ia sampaikan padamu secara Talqin/ menyampaikan apa yang bukan haditsnya maka jangan.
Dari semua kritik diatas menunjukkan bahwa Hadits yang disampaikan oleh Suwaid sebelum buta dapat diterima, sedangkan jika setelah buta maka jangan diterima. Oleh karena itu, perlu dipelajari lebih dalam lagi apakah hadits tentang Malam Nisfu Sya’ban yang dianggap lemah tadi, disampaikan oleh Suwaid ibn Sa’id Al Hadatsaani Al Anbaari sebelum ia buta atau sesudahnya? WAllahu a’lam.

Lalu jika hadits fadhoil  itu lemah, apakah boleh diamalkan?

Singkatnya, Imam 4 Madzhab, Muhadditsin dan Fuqoha memiliki pendapat tentang mengamalkan hadits dhoif dalam hukum ibadah dan muamalah, jika tidak ada dalil lain selain hadits itu.
Imam Abu Hanifah berpendapat boleh mengedepankan hadits dhoif daripada qiyas, bahkan As Sanadi Alhanafi mengatakan bahwa Hadits mursal itu bisa dijadikan hujjah bagi kami (hanafiyah) dan bagi jumhur (hasyiyah Sanadiy ala Sunan Nasai). Imam Malik dalam madhabnya secara dhohir membolehkan mengamalkan hadits Mursal dan Munqoti’. Dan Abu Bakr ibn Al Arobi berkata “Hadits Mursal bagi kami hujjah di hukum syariat agama, termasuk halal haram di fadhoil dan pahala di amal ibadah”. (Aridhotul Ahwadzi). Imam Syafii mensyaratkan dalam menerima kabar dengan syarat yang detil, dan beliau juga dalam madzhab jadidnya mengatakan jika ada hadits Mursal, dan kemudian diikuti dalam periwayatannya oleh para Huffadz yang terpercaya dan hadits itu bersandarkan pada Rasulullah SAW dengan makna yang sama, maka itulah yang menunjukkan keshalihan hadits itu. Dan pada kenyataannya, hadits tentang keutamaan Malam Nisfu Sya’ban ini bukan hanya hadits lemah yang tersebut di pendapat yang melarangnya saja. Bahkan, banyak hadits lain yang menopangnya karena maknanya yang sama dan saling menguatkan sehingga ia bisa terangkat. Seperti diantaranya

-Hadits yang diriwayatkan oleh Sunan Ibn Majah di Kitab “Iqoomatussholah wa sunnah fiihaa” Bab “Maa jaa’a fi lailati nisfh min sya’ban” nomor 1453

حَدَّثَنَا رَاشِدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ رَاشِدٍ الرَّمْلِىُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنِ ابْنِ لَهِيعَةَ عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ أَيْمَنَ عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَرْزَبٍ عَنْ أَبِى مُوسَى الأَشْعَرِىِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

Hadits di faidh qadhir 1798 dhoif menurut imam suyuti, dan ibnu jauzi menghukuminya dengan “Hadits ini tidak sahih”

-Hadits yang diriwayatkan oleh Sunan Ibn Majah di Kitab “Iqoomatussholah wa sunnah fiihaa” Bab “Maa jaa’a fi lailati nisfh min sya’ban” nomor 1452

حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْخُزَاعِىُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ أَبُو بَكْرٍ قَالاَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَنْبَأَنَا حَجَّاجٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِى كَثِيرٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ لَيْلَةٍ فَخَرَجْتُ أَطْلُبُهُ فَإِذَا هُوَ بِالْبَقِيعِ رَافِعٌ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ أَكُنْتِ تَخَافِينَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْكِ وَرَسُولُهُ قَالَتْ قَدْ قُلْتُ وَمَا بِى ذَلِكَ وَلَكِنِّى ظَنَنْتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَائِكَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعَرِ غَنَمِ كَلْبٍ

-Hadits yang diriwayatkan oleh Sunan Ibn Majah di Kitab “Iqoomatussholah wa sunnah fiihaa” Bab “Maa jaa’a fi lailati nisfh min sya’ban” nomor 1451

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِىٍّ الْخَلاَّلُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِى سَبْرَةَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا يَوْمَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلاَ مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

-Hadits yang diriwayatkan oleh Sunan Tirmidzi di Kitab “Asshoumu ‘an Rosulillah SAW” Bab “Maa jaa’a fi lailati nisfh min sya’ban” nomor 744

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ أَرْطَاةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِى كَثِيرٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَيْلَةً فَخَرَجْتُ فَإِذَا هُوَ بِالْبَقِيعِ فَقَالَ أَكُنْتِ تَخَافِينَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْكِ وَرَسُولُهُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى ظَنَنْتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَائِكَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعْرِ غَنَمِ كَلْبٍ وَفِى الْبَابِ عَنْ أَبِى بَكْرٍ الصِّدِّيقِ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عَائِشَةَ لاَ نَعْرِفُهُ إِلاَّ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ الْحَجَّاجِ وَسَمِعْتُ مُحَمَّدًا يُضَعِّفُ هَذَا الْحَدِيثَ وَقَالَ يَحْيَى بْنُ أَبِى كَثِيرٍ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ عُرْوَةَ وَالْحَجَّاجُ بْنُ أَرْطَاةَ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ يَحْيَى بْنِ أَبِى كَثِيرٍ

Jika dilihat dari banyaknya hadits yang semakna tersebut juga sudah jelas bahwa, hadits tentang keutamaan Maam Nisfu Sya’ban  bisa terangkat dari yang tadinya Dhoif menjadi Hasan Lighoirihi. Kalaupun tidak, maka hadits itu tetap memiliki keaslian atas keberadaannya.

Imam Ahmad juga mengedepankan hadits Dhoif daripada Ijtihad dan membolehkan mengamalkannya. Kesimpulannya, Imam 4 Madzhab membolehkan mengamalkan hadits dhoif jika tidak ada dalil lain selain itu. Apalagi jika terdapat banyak hadits yang menopangnya.


Akan tetapi, dalam perbedaan pendapat ini, mari utamakan akhlak dan hormati perbedaan.

Tentunya, masalah ijtihadiyah tak bisa kita paksakan kebenarannya sebelum terbukti dalil yang kuat. Jika terlihat mana yang lebih kuat, maka hendaknya kita condong kepadanya. Akan tetapi dalam mensikapi perbedaan masalah khilafiyah ijtihadiyah, tak perlu dengan kekerasan.

Imam Sufyan Ats-Tsauri mengatakan “Jika engkau melihat seorang lelaki yang berbuat sesuatu yang masih khilaf hukumnya, dan berbeda dengan keyakinanmu, maka jangan larang dia melakukannya”.

Imam Ahmad dalam riwayat Al-Maruzi mengatakan “Tidak selayaknya seorang faqih menyuruh orang lain untuk mengikuti madzhabnya, dan tidak boleh baginya untuk bertindak terlalu keras terhadap mereka”.

Seyogyanya, melihat sunnah Rasulullah SAW tidak hanya dari satu sisi saja. Karna bisa jadi apa yang kita hukumi, baru kita lihat dari perspektif kita. Berbeda dengan perspektif orang lain yang mungkin lebih benar dari pada kita.

قال الإمام ابن تيمية : السنة المحفوظة عن النّبيّ صلّى الله عليه و سلّم من السّعة و الخير ما يزول به حرج, و إنّما وقعت الشّبهة لإشكال بعض ذالك علي بعض النّاس"

WAllahu wa Rasuuluhu A’lam bi Ash-Showab


Learn more »

Hukum Sholat Di Atas Kendaraan Umum (Pesawat, Kereta, Dsb)


Apakah seorang musafir pengendara kendaraan umum boleh meninggalkan sebagian rukun sholat (Berdiri, ruku', sujud, menghadap kiblat) ketika sholat di tengah perjalanan, sedangkan ada rukhsoh untuk menjama' sholat?
Apa hukum sholat seperti ini?

Ulama fiqih bersepakat bahwa sholat sunnah bagi seorang musafir yang menggunakan/menaiki kendaraan hukumnya boleh, kemanapun arah kiblatnya sesuai dengan arah laju kendaraan. Dalil yang menguatkan hal tersebut adalah ayat pada surat Al-Baqarah;115 "Wa lillaahi-l-masyriq wa-l-maghrib". "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap, disitulah kiblat Allah".

Ibnu Umar R.A. mengatakan bahwa ayat tersebut turun khusus hanya untuk sholat Tathowu' saja. Di sisi lain, Jumhur ulama mengartikan ayat itu secara umum. Yaitu sholat sunnah boleh dikerjakan saat berkendara atau di perjalanan dalam bentuk apapun, baik perjalanan yang sholatnya boleh diqashar dan dijama' atau tidak. Berbeda dengan pendapat Imam Malik yang mensyaratkan hanya boleh dikerjakan ketika dalam perjalanan yang dibolehkan menqashar sholat.


Sedangkan untuk sholat Fardhu/Wajib, Ulama bersepakat tidak memperbolehkan sholat fardhu di perjalanan kecuali disertai dengan udzur atau alasan yang bisa diterima. Ibn Batthal mengatakan di "Syarh Bukhori :903" bahwa Ulama bersepakat seorang musafir tidak boleh sholat (fardhu) diatas kendaraan tanpa udzur atau alasan".

Jika seorang mukallaf mampu mengerjakan sholat ketika berkendara atau di perjalanan secara lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya -meski tanpa uzur-, maka sholatnya tetap dianggap sah. Demikian pendapat madzhab Syafi'i, Hanbali, dan Maliki.

Adapun menurut para ulama fiqih, beberapa udzur yang diterima  agar dapat mengerjakan sholat fardhu di perjalanan adalah seperti:

-Takut akan bahaya yang mengancam jiwa atau harta dari musuh atau dari binatang buas.
-Takut tertinggal rombongan
-Terluka sebab hujan atau terkena lumpur (Dalam hal ini madzhab Syafi'i mewajibkan untuk mengulang sholat, karena hal tersebut merupakan udzur yang sangat jarang terjadi.)

Intinya : Udzur yang diperbolehkan adalah ketidakmampuan seseorang untuk turun dari kendaraan yang dinaikinya untuk mengerjakan sholat fardhu, sedangkan jika ia tidak mengerjakannya di atas kendaraan, kuatir akan habis masa sholatnya.

Oleh karena itu, seorang musafir yang bepergian dengan menggunakan kendaraan seperti mobil, pesawat, dan kereta api dan sebagainya, maka ia memiliki 2 kemungkinan;

1. Mampu mengerjakan sholat di atas kendaraan dengan berdiri menghadap kiblat, dan mampu mengerjakannya lengkap dengan rukun dan syaratnya. Maka dalam hal ini, menurut Jumhur sholatnya dianggap sah dengan syarat kendaraan yang ia naiki dalam keadaan berhenti. Akan tetapi menurut madzhab Hanbali, sholatnya tetap sah meskipun kendaraan masih melaju.

2. Tidak mampu mengerjakan sholat sebagaimana utuhnya lengkap dengan rukun dan syaratnya, juga tidak mampu mengakalinya, dan tidak mampu mengerjakan kecuali dengan duduk di kursi misalnya.
Ditambah jika ia tetap menunggu hingga turun dari kendaraan akan habis masa sholatnya atau memungkinkan ketinggalan rombongan. Maka sholatnya dianggap sah.

Jika sholat yang akan dikerjakan itu termasuk sholat yang bisa dijama' taqdim atau ta'khir, maka hendaknya ia berniat dengan itu. Namun, apabila sholat yang dikerjakan termasuk sholat yang tidak bisa
dijama', maka hukumnya kembali ke awal. Yaitu, dianggap sebagai uzur yang diterima, dan boleh mengerjakannya satu persatu sesuai dengan waktunya. Dan mustahab hukumnya untuk melakukan qodho setelah sampai di tempat tujuan, namun hal ini diluar pendapat Syafiiyyah yang dalam pembahasan qadha terdapat khilaf di dalamnya.

WAllahu A'lam

(Syekh Ali Gomaa, "Al-Fatawa Al-Islamiyyah min Dar el Ifta El-Mashriyyah, jilid 37, hal 45-47, 2010)

Learn more »

Download Rekaman MOODIS di radioppidunia.org


MOODIS? Apa itu MOODIS? Pasti ini salah satu pertanyaan yang pertama kali muncul di pikiran antum. :)

Oke. MOODIS atau singkatan dari Muda Mudi Islami adalah nama salah satu program siaran yang ada di Radio PPI Dunia. Radio PPI Dunia merupakan radio milik Perhimpunan Pelajar Indonesia yang ada di seluruh dunia, baik bagian Utara, Selatan, Barat, dan Timur. Radio ini mengudara selama 24 jam sehari non stop. Penyiar-penyiarnya pun terbagi di beberapa negara, bahkan lebih dari 10 negara yang ada di dunia ini.

Bagaimana bisa?????
Jawabannya adalah "BISA AJA" :) karna teknologi sekarang sudah canggih, maka tak perlu bertatap muka untuk saling kenal dan tukar informasi. Nah, salah satu program yang disajikan di Radio PPI Dunia ini adalah program yang membahas hal seputar keislaman. Program satu-satunya yang membahas tentang seputar permasalahan hidup dipandang dari kacamata islam inilah yang namanya MOODIS (Muda Mudi Islami).

Menurut sejarah :D program ini sudah ada sejak jaman pertama kali Radio PPI Dunia berdiri. Lalu diteruskan oleh penyiar-penyiar baru yang masuk ke radio. Saat ini program Moodis masih dipegang dan dinahkodai oleh saya sendiri, Mohammad Hendri Alfaruq (DJ Alfa) asal Pekalongan, yang sekarang masih berdomisili di Mesir. Saya sendiri masih kuliah s2 Universitas Al Azhar, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Hadits.
Disamping itu, saya juga mengikuti program pelatihan fatwa di Dar el Ifta, Mesir. Sebuah kesyukuran yang luar biasa, Alhamdulillah.

Nah, kawan-kawan, di bawah ini ada beberapa rekaman siaran MOODIS yang pernah di siarkan di radioppidunia.org :) , jika berkenan mendengarkan, silakan Download aja, gratis :)

NB: Moodis bisa didengarkan setiap hari Rabu pukul 00.00 - 03.00 WIB


DOWNLOAD DIBAWAH


Semoga bermanfaat :) 



Learn more »

Rekaman Sebagian Pelajaran Dar el-Ifta



Alhamdulillah, sebuah kesyukuran yang luar biasa bisa belajar di Mesir yang dikenal sebagai negeri para Nabi ini. Tak bisa dipungkiri, kebanyakan pelajar yang ada di dunia umumnya dan di Indonesia khususnya, mereka pasti tertarik untuk menimba ilmu di Mesir. Kenapa? Karna disinilah sumbernya ilmu islam dengan segala cabang-cabangnya. Sebagian ulama-ulama klasik maupun kontemporer terlahir dan besar disini. Bahkan Imam Syafi'i rahimahullah pun dalam perjalanannya menuntut ilmu di Baghdad atau di tempat lainnya, kemudian singgah di Mesir untuk memperdalam ilmunya. Yang kemudian lahirlah Qoul Jadid Imam Syafi'i setelah perpindahannya kesini.

Masih banyak ulama-ulama lain yang berjuang menjunjung kalimat Allah di bumi kinanah ini. Bahkan, terlalu banyak peninggalan sejarah islam yang ada disini. Bukan hanya peninggalan islam saja, melainkan peninggalan prasejarah Mesir kuno yang sangat luar biasa. Diantaranya, Pyramid merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Sampai saat ini filosofi bangunan pyramid belum diketahui secara rinci. Bayangkan, betapa hebatnya arsitek-arsitek negeri ini dulunya. Intinya, Mesir telah merengkuh hati saya, dan hati saya pun melekat dengan keindahan Mesir yang begitu menawan.

Sampai pada akhirnya, setelah menyelesaikan masa studi Strata 1 saya di Universitas Al Azhar Kairo, saya mencoba mendaftarkan diri untuk jadi peserta didik di Dar el-Ifta Mesir. Sebuah lembaga fatwa Mesir yang telah lama berdiri. Konon Dar el-Ifta berdiri sejak lebih dari seratus tahun silam.

Nah, dalam pelatihan yang diadakan di Dar el-Ifta, terdapat para pengajar dari ulama yang sangat kompeten di bidangnya. Salah satunya adalah Syekh Jamal Faruq Ad-Daqaq al-Mashry. Beliau adalah salah satu guru saya saat ini. Kami sangat menghargai dan menghormati beliau. Saat ini beliau mengajarkan kami materi Aqidah, dengan buku Syarh Showi 'ala Jauharoh Tauhid.

Ini ada beberapa rekaman penjelasan Syekh Jamal Faruq Ad-Daqaq mengenai Syarh Showi 'ala Jauharoh at-Tauhid dari rekaman ke 11 sampai dengan 16. Silakan DOWNLOAD disini





Dan ini rekaman Ahwal Syakhsiyyah Mufti dari rekaman 6 sampai dengan 8





Semoga bermanfaat :)
Learn more »

Syarat Menyampaikan Ilmu Kita Kepada Orang Lain


Pendahuluan

Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah segala puji bagi Allah atas segala nikmat dan rahmat-Nya yang tak terkira jumlahnya. Penguasa alam semesta dan Pengatur segala isinya. Tak ada yang patut kita sembah selain Dia yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW sang pembawa risalah akhir kenabian, yang diutus oleh Allah kepada seluruh umat tak terkecuali jin dan manusia, dan menjadi rahmat untuk semua penghuni alam semesta. Semoga kita selalu senantiasa bersholawat kepadanya dan mendapatkan syafaat darinya di akhirat kelak, Amin.

Kenapa saya menulis tentang "Pentingnya Amanat Keilmuan"?

Kita tau bahwa setiap kejadian yang terjadi, pasti ada sebab dibalik kejadian itu. Karna hukum sebab-akibat adalah hukum pasti yang tak terelakkan lagi. Sama halnya dengan kenapa saya tertarik untuk menulis tentang pentingnya sebuah amanat keilmuan.
Salah satu kewajiban kita sebagai muslim adalah berusaha taat kepada Allah dan RasulNya. Yaitu dengan menjalankan segala perintah Allah dan RasulNya serta menjauhi segala laranganNya. Salah satu yang harus kita kerjakan adalah menjaga amanat, baik amanat secara umum dalam agama atau amanat antar sesama manusia. Menjaga amanat merupakan salah satu tugas yang amat berat bagi orang yang tidak mengetahui keutamaannya dan hukuman bagi yang mengabaikannya.

Ibnul Mubarak mengatakan "Laula al-isnaad, la qoola man syaa'a wa maa syaa'a" yang artinya adalah, jika tanpa Isnad, maka siapapun akan mengatakan apa saja yang ia kehendaki. Artinya, Isnad merupakan bagian dalam tubuh agama. Agama islam ini berpindah dan bergulir turun-temurun dengan cara penyampaian yang terpercaya. Diikat oleh isnad yang kuat, sehingga eksistensinya selalu terjaga. Kaitan antara isnad atau penyampaian ilmu dari satu ke yang lainnya amat erat dengan menjaga amanat. Karna, jika seseorang mengabarkan berita atau ilmu tanpa memperhatikan amanat kebenaran kabar itu, atau dengan berbohong dengan ditambah-tambahkan beritanya atau dikurangi beritanya, maka ia termasuk orang yang tidak amanah dalam menyampaikan berita atau ilmu.

Bahkan Imam Muslim menyebutkan perkataan dari Ibnu Sirin dalam muqoddimah shohihnya mengatakan "Sammuu lanaa rijaalakum". Artinya bahwa beliau saking hati-hatinya menerima riwayat sebuah hadits, mensyaratkan supaya sang pembawa berita benar2 jelas identitasnya, apakah ia termasuk orang yang sering berdusta atau tidak. Karna hal itu sangat penting dalam periwayatan.

Salah satu sisi pentingnya amanat keilmuan atau kabar yang kita sampaikan adalah, jika saja kabar atau ilmu itu salah atau keliru, maka yang akan terjadi adalah penjerumusan yang akhirnya akan berujung pada pertentangan faham. Banyak terjadi pertikaian, pembunuhan, bahkan peperangan lantaran kesalahfahaman berita atau semacamnya. Kekeliruan itu terjadi karna tidak jelinya menerima dan memahami berita yang didapat, darimanakah ia, siapa yang menyampaikannya, terpercayakah pemberitanya dan lain sebagainya. Jika pertanyaan-pertanyaan tersebut diperhatikan ketika menerima berita atau ilmu apapun, inshaAllah apa yang kita dapatkan bisa dipercaya.
Learn more »