Mensikapi Perbedaan Hukum Menghidupkan Malam Nisfu Sya'ban


Kesehatan merupakan nikmat Allah yang takkan bisa dibayar dengan apapun. Sampainya usia yang kita punya hingga saat ini juga patut kita syukuri. Dengan apa mensyukurinya? Yaitu dengan beribadah sebanyak-banyaknya, karena Allah telah melapangkan waktu hingga sekarang untuk terus beribadah kepadaNya. Hingga sebentar lagi kita akan menyambut bulan suci Ramadhan yang kesekian dari umur kita.

Selama kita diberi umur sampai saat ini, jika ada kesempatan untuk beribadah kepada Allah lebih dari biasanya, seyogyanya kita manfaatkan waktu untuk itu. Seperti momen-momen penting yang dispesialkan oleh Allah dimana momen itu bisa dijadikan sebagai ladang pahala, salah satunya adalah Malam Nisfu Sya’ban. Terlepas dari anggapan apakah merayakannya adalah bidah atau bukan.

Ikhtilaf atau perbedaan pendapat memang sudah menjadi sunnatullah yang akan hadir di setiap zaman. Pun dengan masalah peringatan Malam Nisfu Sya’ban ini, ada perbedaan pendapat antara yang membolehkan dan mengharamkan, bahkan menganggap hal itu bid’ah.

Lantas bagaimana kita mensikapinya? Bagaimana hendaknya menilai perbedaan ini? Tentunya kita harus tetap memperhatikan akhlak dalam perbedaan pendapat, toh hal ini pun bukan termasuk hal-hal pokok yang mendasar dalam islam, tak perlu memfasikkan bahkan mengkafirkan pandangan orang yang berbeda pendapat dengan kita.

A. Pendapat yang melarang meramaikan Malam Nisfu Sya’ban:

Kenapa mereka melarang perayaan Malam Nisfu Syakban? 

Karena itu bid’ah

Sebagian ulama melarang merayakan peringatan Malam Nisfu Sya’ban  dan menganggapnya bid’ah yang tak pernah dilakukan oleh Rasululllah SAW. Sehingga perayaan tersebut termasuk amalan yang tidak ada landasannya dalam islam dan setiap hal yang demikian , amalannya akan tertolak.

Hal itu berlandaskan pada hadits Imam Muslim yang berbunyi:

...من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو ردّ
yang artinya barang siapa yang melakukan amalan yang tidak termasuk dari ajaran kami (islam) maka amalan itu akan tertolak.  (Shohih Muslim, Kitab Al Aqdhiyyah, Bab Naqdhu-l-ahkaam al baathilah wa roddu muhdatsaati-l-umuur)

Karena Hadits yang menerangkan menghidupkan Malam Nisfu Sya’ban lemah

Dan juga karena terdapat hadits-hadits yang menerangkan tentang perayaan itu, hukum haditsnya Dhoif atau lemah. Terdapat beberapa kecacatan dalam sanad/silsilah perawinya, sehingga membuat hadits itu tidak sempurna.

Seperti pada hadits Muadz ibn Jabal yang berbunyi:

عن سويد بن سعيد، ثنا عبد الرحمن بن زيد، عن أبيه، عن وهب بن منبه، عن معاذ بن جبل -رضي الله عنه- قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " من أحيا الليالي الخمس وجبت له الجنة: ليلة التروية، وليلة عرفة، وليلة النحر، وليلة النصف من شعبان " .

Dari Suwaid ibn Sa'id; Telah menceritakan kepada kami, Abdurrahman ibn Zayd, dari bapaknya, dari Wahb ibn Munabbih, dari Mu’adz ibn Jabal radhiyallahu ‘anhu; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menghidupkan malam yang lima maka ia wajib masuk surga: Malam tarwiyah, malam ‘Arafah, malam Idul Adha, dan malam pertengahan bulan Sya’ban”.

Bukti kelemahan haditsnya mana? 

Adalah salah satu perawi yang bernama Suwaid ibn Sa’id Al Hadatsaani Al Anbaari diatas dihukumi seorang perawi yang lemah dalam meriwayatkan hadits. Hal itu diungkapkan oleh:

-Imam Nasa’I dalam “AlKaasyif” milik Imam Dzahabi, bahwa Suwaid “Laisa Bi tsiqoh”/tidak terpercaya, hal demikian juga ada di “Tahdzib Tahdzib” milik Ibnu Hajar.

-Ibnu Hajar di “Taqrib Tahdzib”, bahwa Suwaid “Umiya fa shooro yatalaqqon maa laisa min hadiitsihi”/ Buta, kemudian berkata apa yang bukan hadits yang ia tau.

Cacat atau kelemahan Suwaid tersebutlah yang membuat hadits tersebut dhoif/lemah. Dan kemungkinan, pendapat yang melarang ini tidak membolehkan perayaan Malam Nisfu Sya’ban berdasarkan kelemahan ini.

Juga hadits yang berbunyi

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا يَوْمَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلاَ مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ.

 Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Hadits ini dianggap dhoif/lemah oleh Syekh Albani.


B. Pendapat yang membolehkan perayaan Malam Nisfu Sya’ban

Pendapat yang membolehkan merayakan Malam Nisfu Sya’ban ini, menganggap bahwa pada malam tersebut terdapat banyak keutamaan yang bisa kita manfaatkan. Antara lain adalah,

-Allah mengampuni setiap hambaNya yang meminta ampun, kecuali orang musyrik dan yang meninggalkan golongan. Dan Allah pada malam hari itu turun ke langit dunia, dan mengampuni setiap hamba yang memohon dosanya untuk diampuni, memberi rezki kepada hamba yang meminta rezki, dan lain sebagainya hingga terbitnya matahari.

Adapun hadits yang menerangkan keutamaan/fadhoil malam Nisfu Sya’ban itu banyak, dan hadits-hadits yang ada itu saling menguatkan. Sehingga jika ada hadits yang dianggap dhoif/lemah, maka hadits yang lain akan menguatkan dan mengangkat derajat hadits satu sama lain dari yang tadinya dhoif/lemah menjadi Hasan lighoirihi. Dari sini, dapat diambil kesimpulan bahwa hadits tentang fadhoil Malam Nisfu Sya’ban adalah hasan, dan dapat diamalkan.

Diantaranya adalah:

-Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di Musnadnya, hadits nomor 26658

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ قَالَ أَخْبَرَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ أَرْطَاةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِى كَثِيرٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ لَيْلَةٍ فَخَرَجْتُ فَإِذَا هُوَ بِالْبَقِيعِ رَافِعٌ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ لِى أَكُنْتِ تَخَافِينَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْكِ وَرَسُولُهُ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ظَنَنْتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَائِكَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعَرِ غَنَمِ كَلْبٍ

Hadits diatas juga bisa ditemukan di Sunan Tirmidzi, Bab “Maa jaa’a fi lailati nisfh min sya’ban”, juga di Sunan Ibn Majah di Kitab “Iqoomatussholah wa sunnah fiihaa” Bab “Maa jaa’a fi lailati nisfh min sya’ban”,

-Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di Musnadnya, hadits nomor 6752

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا حَسَنٌ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ حَدَّثَنَا حُيَىُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِى عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِىِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلاَّ لاِثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلِ نَفْسٍ


Problem Solving:

Tersebut diatas dua pendapat yang berbeda, yang satu membolehkan peringatan Malam Nisfu Sya’ban, dengan menghidupkan malamnya dengan amalan ibadah, dan yang satunya lagi melarangnya karna hadits yang menerangkan tersebut lemah.

Jika kita ingin menentukan hukum sebuah ibadah, lebih bijaknya kita taqlid kepada ahlul ilmi atau ulama yang kompeten di bidangnya, bagi kita yang masih berstatus muqollid. Tapi tidak ada salahnya jika kita berusaha untuk tau, apa dan kenapa sebab mereka membolehkan dan melarang suatu amalan ibadah.

Seperti menghidupkan Malam Nisfu Sya’ban ini, mari kita lihat dari kaidah ilmiahnya. Tidak layak bagi seorang penuntut ilmu, jika melulu menganggap apa yang gurunya katakan, kemudian langsung ditelan mentah-mentah. Hendaknya ia mencari dan mengoreksi  jika ada yang salah menurutnya.

Pendapat pertama yang melarang menghidupkan Malam Nisfu Sya’ban, melihat karna hal itu adalah termasuk bid’ah. Atau sesuatu yang belum pernah dikerjakan Rasulullah SAW di zamannya.  Tapi kita juga harus ingat, tidak semua bid’ah yang ada, haram hukumnya. Karna bid’ah terbagi menjadi 5 macam, yaitu bid’ah muujabah (yang wajib dilakukan, sperti halnya pengumpulan dan penulisan alquran karna takut akan hilang jika tak dilakukan), bid’ah muharromah (yang haram dilakukan, sperti halnya memilih orang bodoh dalam agama disbanding ulama dalam urusan agama), bid’ah mandubah (yaitu yang sunnah dilakukan, sperti sholat tarawih dll), bid’ah makruhah (yang tidak disukai, sperti mengkhususkan hari jumat untuk puasa), dan bid’ah mubahah (yang boleh dilakukan, bersepeda motor untuk sekolah dll). Tidak semua bid’ah adalah sesat.

Di samping itu yang perlu juga diperhatikan adalah para Tabiin pun ikut menghidupkan Malam Nisfu Sya’ban, meskipun ada ikhtilaf dalam hal itu. Dan ikhtilaf/perbedaaan pendapat akan terus ada hingga akhir zaman nanti.

Imam Al Hafidz Ibn Rajab Al-Hanbali Rahimahullah berkata di kitabnya "Lathoif Al Maarif:

"Dan pada malam Nisfu Sya'ban, para Tabiin dari ahli Syam sperti Kholid ibn Ma'dan, dan Makhul, dan Luqman ibn Amir dan lainnya memuliakan dan menghidupkan malam itu dengan ibadah. Dan orang lain pun ikut memuliakannya karena keutamaannya. Di sisi lain, Ulama Syam berpeda pendapat dalam sifat menghidupkannya antara 2 hal:

1. Mustahab hukumnya, jika menghidupkannya secara berjamaah di masjid. Seperti yang pernah dilakukan oleh Khalid ibn Ma'dan dan Luqman ibn Amir dan lainnya dari para Tabiin, mereka mengenakan pakaian terbaiknya, memakai wewangian dan mendirikan sholat malam itu dalam masjid. Hal ini disepakati oleh Ishak ibn Rowahiyah (Salah satu imam ulama Salaf) dan mengatakan bahwa menghidupkan malam itu dalam masjid secara berjama'ah bukanlah perkara bid'ah."

2. Makruh hukumnya berkumpul dalam masjid malam itu untuk sholat, dan bercerita, atau berdoa berjamaah, akan tetapi tidak makruh jika dikerjakan secara sendirian. Demikian pendapat Imam Auza'i (Salah satu imam Ulama Salaf) dan imam Ahlu Syam seorang yang alim dan faqih.
Imam Syafi'i berkata: "Telah sampai kabar kepada kami bahwa Doa akan diterima di 5 malam ini: Malam jumat dan Ied yang 2, Malam pertama bulan Rajab, dan malam Nisfu Sya'ban. Lalu berkata: "Wa ana astahibbu kulla maa hakaitu fii hadzihi al layaalii"

Hadits Muadz ibn Jabal lemah karena perawinya lemah, sehingga tidak bisa diamalkan?

Tersebut Suwaid ibn Sa’id Al Hadatsaani Al Anbaari lemah dalam riwayatnya tentang hadits diatas, dinaqd oleh Imam Nasa’I bahwa dia laisa tsiqoh. Dan dia kemudian buta, sehingga menyampaikan apa yang tidak ia tau kebenarannya. Hal ini terdapat di beberapa kitab tarjamah perawi yang tersebut diatas. Akan tetapi jika kita lihat lebih jauh lagi, masih banyak ulama yang menilai kelemahan Suwaid ibn Sa’id tersebut kemungkinan terjadi setelah ia mengalami kebutaan.

Diantaranya yang disebutkan di Tahdzibuttahdzib milik Ibnu Hajar :

Abu Hatim berkata “Kaana shoduuqon wa kaana yudallisu wa yuktsir”, Bukhari berkata “Ia buta, kemudian menyampaikan apa yang bukan haditsnya”, Ya’qub ibn Syaibah berkata “Shoduq, mudhtoribul hifdzi, laa siyyama ba’da maa ‘amiya”, Abu Zar’ah berkata “Jika ia menyampaikannya dari kitabnya, maka haditsnya selamat, dan aku mengikutinya. Tapi jika dari hafalannya, maka tidak kuikuti.” Hakim berkata “ Dia buta di akhir hayatnya, jika kau mengambil hadits darinya sebelum ia buta/ketika ia melihat, maka haditsnya hasan”.
Lalu Imam Nasa’i yang juga mengatakan “Dia bukan tsiqoh/tak terpercaya”. Kemudian Imam Nasa’I juga berkata dia tidak dipercaya. Sulaiman ibn Al Asyats mengabarkan padaku dan dia mendengar dari Yahya ibn Muayyan berkata "Suwain ibn Said" halal darahnya. Juga Muhammad ibn Yahya Al Haraz bertanya kepada Yahya ibn Muayyan tentang Suwaid dan dijawab "Apa yang dia sampaikan padamu maka tulislah, tapi apa yang ia sampaikan padamu secara Talqin/ menyampaikan apa yang bukan haditsnya maka jangan.
Dari semua kritik diatas menunjukkan bahwa Hadits yang disampaikan oleh Suwaid sebelum buta dapat diterima, sedangkan jika setelah buta maka jangan diterima. Oleh karena itu, perlu dipelajari lebih dalam lagi apakah hadits tentang Malam Nisfu Sya’ban yang dianggap lemah tadi, disampaikan oleh Suwaid ibn Sa’id Al Hadatsaani Al Anbaari sebelum ia buta atau sesudahnya? WAllahu a’lam.

Lalu jika hadits fadhoil  itu lemah, apakah boleh diamalkan?

Singkatnya, Imam 4 Madzhab, Muhadditsin dan Fuqoha memiliki pendapat tentang mengamalkan hadits dhoif dalam hukum ibadah dan muamalah, jika tidak ada dalil lain selain hadits itu.
Imam Abu Hanifah berpendapat boleh mengedepankan hadits dhoif daripada qiyas, bahkan As Sanadi Alhanafi mengatakan bahwa Hadits mursal itu bisa dijadikan hujjah bagi kami (hanafiyah) dan bagi jumhur (hasyiyah Sanadiy ala Sunan Nasai). Imam Malik dalam madhabnya secara dhohir membolehkan mengamalkan hadits Mursal dan Munqoti’. Dan Abu Bakr ibn Al Arobi berkata “Hadits Mursal bagi kami hujjah di hukum syariat agama, termasuk halal haram di fadhoil dan pahala di amal ibadah”. (Aridhotul Ahwadzi). Imam Syafii mensyaratkan dalam menerima kabar dengan syarat yang detil, dan beliau juga dalam madzhab jadidnya mengatakan jika ada hadits Mursal, dan kemudian diikuti dalam periwayatannya oleh para Huffadz yang terpercaya dan hadits itu bersandarkan pada Rasulullah SAW dengan makna yang sama, maka itulah yang menunjukkan keshalihan hadits itu. Dan pada kenyataannya, hadits tentang keutamaan Malam Nisfu Sya’ban ini bukan hanya hadits lemah yang tersebut di pendapat yang melarangnya saja. Bahkan, banyak hadits lain yang menopangnya karena maknanya yang sama dan saling menguatkan sehingga ia bisa terangkat. Seperti diantaranya

-Hadits yang diriwayatkan oleh Sunan Ibn Majah di Kitab “Iqoomatussholah wa sunnah fiihaa” Bab “Maa jaa’a fi lailati nisfh min sya’ban” nomor 1453

حَدَّثَنَا رَاشِدُ بْنُ سَعِيدِ بْنِ رَاشِدٍ الرَّمْلِىُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنِ ابْنِ لَهِيعَةَ عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ أَيْمَنَ عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَرْزَبٍ عَنْ أَبِى مُوسَى الأَشْعَرِىِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِى لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

Hadits di faidh qadhir 1798 dhoif menurut imam suyuti, dan ibnu jauzi menghukuminya dengan “Hadits ini tidak sahih”

-Hadits yang diriwayatkan oleh Sunan Ibn Majah di Kitab “Iqoomatussholah wa sunnah fiihaa” Bab “Maa jaa’a fi lailati nisfh min sya’ban” nomor 1452

حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْخُزَاعِىُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ أَبُو بَكْرٍ قَالاَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَنْبَأَنَا حَجَّاجٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِى كَثِيرٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ لَيْلَةٍ فَخَرَجْتُ أَطْلُبُهُ فَإِذَا هُوَ بِالْبَقِيعِ رَافِعٌ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَقَالَ يَا عَائِشَةُ أَكُنْتِ تَخَافِينَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْكِ وَرَسُولُهُ قَالَتْ قَدْ قُلْتُ وَمَا بِى ذَلِكَ وَلَكِنِّى ظَنَنْتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَائِكَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعَرِ غَنَمِ كَلْبٍ

-Hadits yang diriwayatkan oleh Sunan Ibn Majah di Kitab “Iqoomatussholah wa sunnah fiihaa” Bab “Maa jaa’a fi lailati nisfh min sya’ban” nomor 1451

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِىٍّ الْخَلاَّلُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِى سَبْرَةَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا يَوْمَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلاَ مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

-Hadits yang diriwayatkan oleh Sunan Tirmidzi di Kitab “Asshoumu ‘an Rosulillah SAW” Bab “Maa jaa’a fi lailati nisfh min sya’ban” nomor 744

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا الْحَجَّاجُ بْنُ أَرْطَاةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِى كَثِيرٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَيْلَةً فَخَرَجْتُ فَإِذَا هُوَ بِالْبَقِيعِ فَقَالَ أَكُنْتِ تَخَافِينَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْكِ وَرَسُولُهُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى ظَنَنْتُ أَنَّكَ أَتَيْتَ بَعْضَ نِسَائِكَ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيَغْفِرُ لأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعْرِ غَنَمِ كَلْبٍ وَفِى الْبَابِ عَنْ أَبِى بَكْرٍ الصِّدِّيقِ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ عَائِشَةَ لاَ نَعْرِفُهُ إِلاَّ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ الْحَجَّاجِ وَسَمِعْتُ مُحَمَّدًا يُضَعِّفُ هَذَا الْحَدِيثَ وَقَالَ يَحْيَى بْنُ أَبِى كَثِيرٍ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ عُرْوَةَ وَالْحَجَّاجُ بْنُ أَرْطَاةَ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ يَحْيَى بْنِ أَبِى كَثِيرٍ

Jika dilihat dari banyaknya hadits yang semakna tersebut juga sudah jelas bahwa, hadits tentang keutamaan Maam Nisfu Sya’ban  bisa terangkat dari yang tadinya Dhoif menjadi Hasan Lighoirihi. Kalaupun tidak, maka hadits itu tetap memiliki keaslian atas keberadaannya.

Imam Ahmad juga mengedepankan hadits Dhoif daripada Ijtihad dan membolehkan mengamalkannya. Kesimpulannya, Imam 4 Madzhab membolehkan mengamalkan hadits dhoif jika tidak ada dalil lain selain itu. Apalagi jika terdapat banyak hadits yang menopangnya.


Akan tetapi, dalam perbedaan pendapat ini, mari utamakan akhlak dan hormati perbedaan.

Tentunya, masalah ijtihadiyah tak bisa kita paksakan kebenarannya sebelum terbukti dalil yang kuat. Jika terlihat mana yang lebih kuat, maka hendaknya kita condong kepadanya. Akan tetapi dalam mensikapi perbedaan masalah khilafiyah ijtihadiyah, tak perlu dengan kekerasan.

Imam Sufyan Ats-Tsauri mengatakan “Jika engkau melihat seorang lelaki yang berbuat sesuatu yang masih khilaf hukumnya, dan berbeda dengan keyakinanmu, maka jangan larang dia melakukannya”.

Imam Ahmad dalam riwayat Al-Maruzi mengatakan “Tidak selayaknya seorang faqih menyuruh orang lain untuk mengikuti madzhabnya, dan tidak boleh baginya untuk bertindak terlalu keras terhadap mereka”.

Seyogyanya, melihat sunnah Rasulullah SAW tidak hanya dari satu sisi saja. Karna bisa jadi apa yang kita hukumi, baru kita lihat dari perspektif kita. Berbeda dengan perspektif orang lain yang mungkin lebih benar dari pada kita.

قال الإمام ابن تيمية : السنة المحفوظة عن النّبيّ صلّى الله عليه و سلّم من السّعة و الخير ما يزول به حرج, و إنّما وقعت الشّبهة لإشكال بعض ذالك علي بعض النّاس"

WAllahu wa Rasuuluhu A’lam bi Ash-Showab


0 comments: