Kenapa bangunan keilmuan kita bolong-bolong?

Bagaimana proses pembentukan bangunan keilmuan itu?

As far as I’m concerned - Setiap orang, pelajar atau bukan, tingkat pemula atau tingkat menengah ke atas tentu memiliki pengetahuan berupa informasi di otaknya tentang sesuatu. Endapan maklumat yang terkumpul itu berasal dari berbagai sumber, mulai dari membaca buku, mendapatkan informasi dari guru, teman, artikel lepas, berita, note fb, status fb, tweet, ceramah ulama dan cendikiawan baik secara langsung atau rekaman dan sebagainya. Bisa jadi informasi-informasi tersebut berasal dari desas-desus kabar isu valid atau tidak valid. Atau informasi dari menonton berita aktual, tutorial, bahkan film dokumenter atau fiktif. Atau informasi yang tercampur antara fakta dan kebohongan. Atau informasi yang geje gajelas yang terbentuk  antara senyawa keilmuan murni dengan pernyataan sepihak pengaruh politik praktis nan keras, gak terlalu keras, lembut dan sebagainya. Apalagi kita hidup di zaman dimana ilmu pengetahuan sudah sangat maju, dengannya, proses pemindahan informasi melalui media cetak atau online, maka berita apapun bisa sangat mudah dan cepat tersebar. Semua hal tersebut merupakan proses pemindahan informasi secara langsung dan tidak langsung dari luar ke otak. Semua memori yang terserap itu terkumpul dan berjogres satu sama lain menjadi sebuah bangunan keilmuan. Begitulah bangunan keilmuan terbentuk sesuai dengan unsur yang membentuknya dengan berbagai macam model yang mempengaruhi kualitasnya.

Informasi-informasi yang kita dapat sangat berpengaruh pada perkembangan intelektualitas dan pembentukan kualitas diri. Bisa juga dikatakan bahwa bangunan keilmuan yang ada di otak kita adalah hasil serapan dari apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan yang kita dapatkan dan pelihara sejak dini hingga saat ini melalui proses yang tersebut tadi. Dengan kata lain, bangunan keilmuan layaknya seperti hardisk internal yang ada dalam otak kita, tersusun di dalamnya folder-folder yang berisikan file informasi yang kita dapat.

Sama halnya seperti apa yang disampaikan oleh Syeikh Osama el-Sayed Mahmud el-Azhari dalam salah satu seminarnya bahwa ilmu dalam diri kita ibarat folder pada sebuah operating system windows. Singkatnya, jika kita membuka windows explorer, maka kita akan menemukan drive yang berisi folder-folder yang bernamakan sesuai dengan apa yang kita buat. Setiap folder berisi subfolder lainnya yang berisi dokumen-dokumen penting dalam format doc atau pdf atau audio bahkan video. Setiap kali kita diminta untuk menghadirkan muatan dari file-file tersebut, maka kita dituntut untuk mendapatkannya dengan membuka folder demi folder untuk sampai ke file yang kita inginkan. Tingkat kecepatan mendapatkannya tergantung pada rapi dan tidaknya kita menyusun folder-folder ini. Oleh karenanya, menurutku,  perbedaan antara orang pandai dan bodoh adalah dalam metode menyusun folder tersebut. Orang pandai mungkin akan menyusunnya dengan rapi, sistematis dan efektif agar tempat file penting mudah diingat dan ditemukan, sehingga ketika ia menginginkannya, ia akan cepat mendapatkannya. Berbeda dengan orang bodoh. Mungkin ia cenderung akan meletakkan file-file yang ia serap (ibaratnya informasi yang ia dapat sehari-hari) langsung ke drive tanpa folder secara awut dan tidak diberi nama yang jelas untuk membedakan antara file satu dan lainnya, sehingga pasti ia akan kesulitan ketika suatu saat membutuhkannya. Mungkin, seperti itulah ibarat keilmuan yang ada dalam diri kita.

Setelah tau apa itu bangunan keilmuan dan bagaimana proses pembentukannya, bagaimana dengan kualitas bangunan keilmuan yang kita miliki?

Baiknya kita sepakati bahwa bangunan keilmuan terdiri atas memori yang berisi endapan maklumat dan informasi yang bertahan dalam otak. Mari kita lihat kenyataan bahwa proses penyerapan informasi dan penyimpanannya dalam otak sangat bermacam-macam, ada informasi yang mudah didapat tapi cepat terlupakan, dan ada juga informasi yang sulit didapat tapi lebih bertahan. Hal ini memiliki pengaruh besar terhadap kualitas bangunan keilmuan kita.

Kualitas bangunan keilmuan kita sangat bergantung pada kekuatan memori per individu dalam mengingat dan mengikat informasi dan kuantitas pengulangannya. Selain itu, juga bergantung pada tingkat cepat lupanya seseorang karena sebab dan alasan yang bermacam-macam.

Lalu bagaimana cara kita mengetahui kualitasnya? Bagaimana mengukur kualitasnya? 

Cara mengukurnya adalah dengan menggunakan barometer pengukur. Dimulai dari mencari tau seperti apa bangunan keilmuan yang bagus itu. Apa saja ciri-cirinya? Bagaimana prosesnya? Apa standarnya? Tentunya bangunan keilmuan yang bagus dan kokoh adalah hasil jerih payah melewati banyak tahap dan fase menuntut ilmu sesuai dengan metode ulama Robbani. Yaitu metode yang telah kita ketahui tadi, ditambah dengan penghayatan yang penuh dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga ilmu yang didapatkan benar-benar matang dan terpatri dalam sanubari terdalam, mengharapkan Ridho Ilahi semata.

Setelah mengetahui barometer keilmuan yang baik, kita ukur pengetahuan kita dengannya, maka hasilnya akan terlihat. Ada yang ternyata bangunannya kokoh, besar, megah, atau justru bangunannya miring-miring, goyang setiap kali ketiup angin, bolong-bolong, banjir kalau ada ujan dan sebagainya. Itulah bangunan keilmuan kita saat ini. Mungkin sebagian diantara kita ada yang sudah tau seberapa besar, seberapa kokoh, seberapa tinggi, dan seberapa bagus bangunan keilmuan kita sendiri. Atau malah mungkin ada yang tidak tau, atau tidak mau tau, atau malah tidak tau apa-apa soal ini.

Solusi

Lalu, jika kita sudah tau kualitas bangunan keilmuan kita, bagaimana solusi memperbaikinya atau membuatnya lebih baik dari sebelumnya?

Yaitu dengan membangun bangunan keilmuan dengan Manhaj terbaik diikuti dengan istiqomah. Manhaj yang ideal dalam menuntut ilmu adalah manhaj yang dimiliki oleh Al-Azhar. Manhaj Al-Azhar dalam mendidik santrinya sangat efektif, hal itu terlihat dari ketahanannya dan keberhasilannya dalam melahirkan ulama-ulama Robbani yang terkenal seantero jagad seperti Imam Ibrahim al-Bajuri rahimahullah, Muhammad Abduh rahimahullah, dan lainnya yang memiliki kualitas keilmuan yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Bahkan hingga zaman sekarang, ulama-ulama Al-Azhar memiliki peran penting dalam perkembangan keilmuan islam di dunia. Bahkan Madrosah selain Al-Azhar sekelas Madrasah Zaitunah dan lainnya mengakui metode ini. Hal itu terlihat dari banyaknya tolibul ilmi yang datang menimba ilmu ke Al-Azhar dari seluruh penjuru dunia.

Metode Al-Azhar dalam mendidik santrinya untuk menjadi seorang ahlul ilmi bisa dibagi menjadi 4 tingkatan. Setiap tingkatan ini harus dilalui secara berurutan dari awal hingga akhir, sama persis ketika kita ingin menaiki tangga menuju lantai atas. Semua ilmu dalam tingkatan-tingkatan ini dipelajari dengan melalui 3 tahap yang telah kita ketahui, yaitu tahap Mubtadi, Mutawassith, dan Muntahi. Pembelajarannya juga melalui metode yang telah kita jelaskan, dari mulai Talaqqi secara Musyafahah, Mudzakaroh, Mudarosah, Munaqosyah, dan berakhir dengan Mumas’alah. Beginilah seharusnya kita menuntut ilmu. Proses ini tentunya akan memakan waktu yang relatif lama, maka benarlah perkataan Syeikh Osama el-Sayed Mahmud el-Azhari bahwa, untuk menjadi seorang ahlul ilmi sekiranya butuh hingga 10 tahun untuk mendapatkannya.

Pertama, Daairotu al-Fahmi wal Ifham. Fase ini adalah fase dimana seorang murid mempelajari Ilmu alat yang bertugas untuk memahami ilmu. Fase ini ibarat kunci untuk membuka gerbang keilmuan selanjutnya, karena tanpa mempelajari ilmu alat, maka seorang tolibul ilmi takkan mampu menyerap muatan ilmu apapun. Yang dipelajari dalam fase ini adalah seperti Ilmu Shorof, Ilmu Nahwu, Ilmu Balaghah (Bayan, Badi’, Ma’ani), Ilmu Isytiqoq, Ilmu Matan Lughah, Ilmu al-Wadh’i dan sebagainya.

Kedua, Daairotu at-Tautsiq wal Itsbat. Fase ini adalah fase selanjutnya setelah tolibul ilmi menyelesaikan fase sebelumnya yaitu pemahaman ilmu alat sepenuhnya. Fase ini bertugas memfilter informasi keilmuan yang akan ia serap pertama kali, yaitu memastikan bahwa apa yang akan kita dapatkan benar-benar dari rahim yang suci, keilmuan yang matang, berasal dari proses panjang ijtihad ulama sedari dulu. Bukan dari sumber yang tak terpercaya, mungkin akibat racun politik atau lainnya yang mencampuri ranah keilmuan islam. Maka, di fase ini ia mempelajari ilmu seperti Ilmu Hadis dengan segala cabangnya. Antara lain, Ilmu Mustolah, Ilmu Takhrij, Ilmu Ilal, Ilmu Jarh wa Ta’dil dan sebagainya.

Ketiga, Daairotu al-Hujjiyyah wa at-Tahlil. Fase ini adalah fase dimana seorang tolibul ilmi memperkuat apa yang ia dapatkan dari ilmunya dengan hujjah dan dalil secara akal. Maka di fase ini ia mempelajari ilmu akal seperti ilmu Mantiq, Ilmu Tauhid, dan Ilmu Ushul fikih.
Keempat, Daairotu Bina’I al-Insan, yaitu Fase pembentukan jati diri seorang ahlul ilmi. Setelah melewati 3 fase sebelumnya, berbekal ilmu yang telah dipelajari sebelumnya, maka seorang tolibul ilmi akan mempelajari ilmu pembentukan jati diri dalam penerapannya di kehidupan sehari-hari. Baik itu ilmu secara zahir atau secara batin. Maka di fase ini ia akan mempelajari dan mempraktekkan Ilmu Fikih dan Ilmu Tashowwuf. Ilmu Fikih merupakan representasi ilmu Islam secara zahir yang terdiri dari Ibadah, Muamalah dan sebagainya. Di sisi lain, Ilmu Tashowwuf juga merupakan ilmu untuk meningkatkan level kita menuju Ihsan. Keduanya merupakan ilmu Maqasid yang sangat penting untuk dipelajari dan dipraktekkan, sehingga akan melahirkan generasi yang Robbani.

Kesimpulan

Mengetahui kualitas keilmuan kita saat ini sangat penting bagi perkembangan kualitas diri. Kokoh atau tidaknya akan mempengaruhi kemampuan kita dalam menjawab pertanyaan perihal agama atau menyampaikan ilmu yang kita miliki. Bisa dipastikan, kita semua menginginkan bangunan keilmuan kita baik dan terpercaya layaknya ulama Robbani sebagai penerus perjuangan Nabi SAW dalam membawa umat menuju perbaikan. Oleh karena itu, mari kita perbaiki apa yang rusak, dan kita sempurnakan apa yang kurang dengan cara 3 M (Memanfaatkan waktu yang ada, Memanfaatkan kondisi lingkungan, Memanfaatkan teknologi penunjang). Wallahu A’lam Bi Ash-Showab

Oleh; Mohammad Hendri Alfarouq

0 comments: