Hukum Inseminasi Buatan



Poin-poin penting tentang batasan syariah tentang proses pembuahan di luar rahim;

1. Proses pembuahan sperma dan sel telur di luar rahim dengan mengikuti kriteria sesuai syariat dibolehkan pada saat genting.
2. Jika tidak ada dokter ahli wanita muslimah, maka dibolehkan bagi dokter muslim melihat bagian wanita sebatas yang dibutuhkan selama proses saja


-Disebutkan dalam fatwa Darul Ifta tahun 1998, tentang suami istri yang telah menikah selama 3 tahun namun belum diberi keturunan. Setelah mencoba beberapa usaha untuk menghasilkan keturunan namun tidak berhasil, suatu saat diminta untuk mencoba inseminasi buatan atau pembuahan sperma dan sel telur di luar rahim istrinya, lalu ditanam kembali dalam rahim istri.

Pertanyaan;

Apakah proses tersebut halal hukumnya?
Jika tidak ada dokter ahli dari wanita muslimah, apakah boleh bagi dokter lelaki muslim menggantikannya?


Jawaban;
Syariat membolehkan usaha mendapatkan keturuan dengan cara pembuahan di luar rahim kemudian penanaman kembali ke dalam rahim, dengan syarat sperma dan sel telur berasal dari suami istri yang sah tanpa tercampur dengan sperma lelaki lain. Dikerjakan oleh para ahli muslimah yang terpercaya, dan proses ini dilakukan atas dasar ketidakmampuan istri dalam mengandung secara alami.
Tentang boleh tidaknya dokter lelaki melihat bagian wanita selama proses, selama yang dilihat hanya bagian yang diperlukan saja, boleh hukumnya. Selama tidak ada satupun dokter wanita yang ahli dalam hal ini. Hal ini bersandarkan pada surat Al-Baqarah;173 "Famanidhturro ghoiro baaghin wa laa aadin falaa itsma alaihi". Selain itu, juga bersandar pada kaidah ushul fikih "Addhorurotu tubihul mahdzuuroot", Kepentingan mendesak membolehkan melakukan apa yang dilarang.

Kriteria praktek inseminasi buatan;

1. Sperma dan sel telur harus berasal dari suami dan istri, tanpa campur tangan pihak ketiga.
2. Tidak ada kemungkinan melahirkan secara normal bagi istri.
3. Proses pelaksanaannya harus dilakukan pada saat suami masih hidup, bukan setelah mati. Dan harus berada dalam status sebagai suami istri, tidak dipisahkan dengan perceraian.
4. Jika dokter ahli yang melakukan praktek tersebut laki-laki, tidak boleh baginya melihat bagian wanita kecuali bagian yang diperlukan saja.
5. Sebaiknya para ahli yang melakukan proses ini dipilih dari komite dokter wanita muslimah. Tapi jika itu tidak memungkinkan, maka boleh meminta kepada dokter non muslimah yang terpercaya dan berakhlak baik. Jika tidak memungkinkan juga, maka dibolehkan bagi 2 dokter laki-laki muslim yang baik.
6. Proses pelaksanaannya harus dihadiri oleh suami atau wanita lain yang bersangkutan
7. Harus benar-benar berhati-hati dalam pengambilan sperma dan sel telur yang akan diproses. Sperma dan sel telur harus berasal dari suami istri yang sah, sehingga tidak ada kesempatan kecilpun yang memungkinkan tercampurnya dengan sperma atau sel telur lain.

1 comments:

HESTI SETIAWATI mengatakan...

makasih infonya :)